Translate

Selasa, 27 Desember 2016

Sejarah Masjid Tiban Wonokerso Wonogiri

Siapa sangka, di balik rimbunnya perbukitan hijau di wilayah Kota Gaplek Wonogiri, tersimpan sebuah bukti kuno tentang penyebaran agama Islam di Tanah Jawa. Bukti tersebut berupa sebuah masjid tiban yang disebut-sebut lebih tua dibandingkan Masjid Agung Demak. Masyarakat sekitar, menyebutnya Masjid Tiban Wonokerso.
Berbicara tentang Walisongo atau Sembilan Wali, tentunya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan Islam di Tanah Air, khususnya pulau Jawa. Bukti dari sepak terjang Walisongo tersebut, masih bisa disaksikan hingga saat ini, mulai dari masjid, makam, hingga petilasan lainnya.

Dusun Wonokerso, Desa Sendangrejo, Kecamatan Baturetno, terletak sekitar 40 kilometer arah selatan Kota Wonogiri. Di dusun ini terdapat sebuah bangunan masjid yang seluruhnya terbuat dari kayu jati kuno. Oleh masyarakat sekitar, masjid ini disebut Masjid Tiban, karena memang tidak diketahui kapan dan siapa yang membangunnya.‎

Meski demikian, dari tanda berupa bentuk penyu di bagian atas masjid, dapat diartikan sebagai angka 1401 Saka atau sama dengan 1479 Masehi. Tahun ini pula yang diyakini sebagai awal dibuatnya masjid yang konon dibuat oleh para wali saat mencari kayu jati untuk membuat Masjid Agung Demak. Tak jelas siapa wali-wali itu karena tak ada bukti tertulis yang ditinggalkan. Namun besar dugaan Sunan Kalijaga dan beberapa wali lain.‎

Dari bangunan berukuran 7x7 meter ini, menumpang di atas balok-balok batu besar, tidak menapak langsung di atas tanah. Bagian dalam masjid, satu mimbar yang biasa digunakan imam saat berkhotbah masih dalam keadaan utuh. Hingga kini tak satu pun yang berani mengubah bentuk dasar masjid kecuali hanya merenovasi. Atap masjid yang tadinya berupa sirap, diganti dengan genting oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah (BPP) 2002 lalu.
Masjid ini justru terlihat sebagai bangunan kuno jika dilihat dari bagian belakang, pasalnya jika dilihat dari depan, bangunan tambahan yang dibuat Pemkab pada 1982 lalu menutup bagian depan masjid.‎

Salah satu dari bukti sepak terjang tersebut, ada di wilayah Wonogiri. Tepatnya di Dusun Wonokerso Desa Sumberejo Kecamatan Baturetno. Peninggalan berupa masjid tiban bernama masjid Taqwa, penduduk sekitar menyebutnya sebagai Masjid Tiban Wonokerso.  Lokasinya berada di dekat perbukitan tanaman jati. Dihitung dari Kota Wonogiri, setidaknya berjarak 40 kilometer.
Menurut petugas Dinas Kepurbakalaan Jawa Tengah sekaligus Takmir Masjid Tiban Wonokerso, Warto, berdirinya masjid berawal dari perjalanan Walisongo. Kala itu,  ada rencana pembangunan Masjid Agung di Demak. 

Ditugaskanlah Walisongo oleh penguasa saat itu untuk mencari kayu jati pilihan terbaik di hutan Wonogiri untuk kerangka masjid Demak.
Masjid Taqwa Wonokerso disebut tiban, sebab dianggap muncul secara tiba-tiba. Konon dalam mendirikannya, Walisongo tidak sampai memakan waktu sehari. Sehingga masyarakat ketika itu merasa kaget dengan telah berdirinya sebuah masjid yang hadir seolah-olah mendadak.

Penuh Keunikan‎

Secara fisik, Masjid Tiban Wonokerso sebenarnya berukuran tidak besar. Cuma sekitar 10×10 meter. Namun, ada sejumlah keunikan di antaranya atap masjid atau kubah yang dihiasi sebuah mahkota. Mahkota yang terbuat dari tanah liat itu, berbentuk seperti mahkota raja-raja Jawa. Dan dari awal diletakkan hingga sekarang tidak mengalami kerusakan apapun.
Keunikan lainnya adalah pintu masuk masjid yang hanya berupa lubang berukuran 120×120 sentimeter. Hal ini membuat jemaah maupun pengunjung masjid harus membungkuk untuk masuk. “Mungkin sebagai simbol, untuk menghadap Allah itu harus menundukkan diri,”.
Empat buah ompak atau yoni sebagai landasan tiang penyangga utama, tidak pula luput dari keunikan. Keempatnya memiliki desain dan ukuran yang berbeda, meski terbuat dari bahan yang sama, kayu jati.‎

“Lantai masjid dibuat dari papan kayu jati dan masih asli dari dulu. Mimbar yang digunakan untuk khotbah juga asli, di dalam masjid dijumpai banyak ukiran berbentuk bintang oktagon atau segi delapan.

Hingga sekarang, Masjid Tiban Wonokerso masih digunakan warga sekitar untuk beribadah. Pun saat puasa seperti saat ini, jemaah memenuhi masjid dan bangunan serambinya untuk menunaikan salat berjamaah. Malah sejumlah jamaah ada yang sampai melaksanakan salat di halaman masjid.

Dari kisah turun-temurun, saat itu para wali hendak membuat Masjid Agung Demak. Akhirnya para wali mencari ke arah selatan, yaitu ke Wonogiri yang diyakini memiliki kayu jati kualitas terbaik. 
Tempat yang mereka tuju sebenarnya adalah tempat yang sekarang diberi nama Hutan Donoloyo yang ada di Kecamatan Slogohimo. Kebetulan wilayah Wonokerso dulunya banyak ditumbuhi pohon jati. Diduga salah arah, para wali pun sembari mencari hutan yang tepat akhirnya membangun masjid ini untuk tempat beribadah sekaligus untuk beristirahat sementara waktu. Saat itu belum ada dusun apalagi desa.

Berdirinya Masjid Agung Demak oleh walisongo tidak terlepas dari peran Hutan Donoloyo sebagai pemasok bahan utamanya yaitu kayu jati tua. Konon disepanjang pegunungan Kedeng tidak ditemukan pohon jati yang layak untuk pembangunan masjid tersebut.
Musyawarah pun digelar oleh walisongo untuk mencari keberadaan kayu jati tua yang dimaksud. Atas ketajaman batin Kanjeng Sunan Kalijaga, didapatlah petunjuk bahwa keberadaan kayu jati tua tidak lain ada di Hutan Donoloyo. Dari sinilah awal kisah berdirinya Masjid Tiban Wonokerso.
Ketika itu para wali yang hendak mencari kayu jati di Hutan Donoloyo, tetapi mereka  masuk di Hutan Wonokerto. Meskipun bukan hutan yang dimaksud, Hal itu tidak menyurutkan semangat para wali. Bahkan mereka akhirnya mendirikan pondok untuk tempat beribadah dan beristirahat. Pondok itulah yang kemudian dikenal sebagai Masjid Tiban Wonokerso.
Masjid yang diyakini sebagai masjid tertua di Jawa, berdiri kokoh di Dusun Wonokerso, Kelurahan Sendangrejo, Kecamatan Baturetno, Wonogiri. Masjid dengan bentuk limasan dan berlantai panggung ini hampir semua bangunannya terbuat dari kayu jati tua.
Menurut warto, juru rawat masjid. Atap masjid dulunya juga terbuat dari kayu, namun karena banyak yang hilang akhirnya diganti dengan genteng. Hilangnya atap kayu tersebut tidak ada yang tahu, kalaupun rapuh atau jatuh juga tidak ada bekasnya.

Masjid Tiban Wonokerso memiliki kubah yang bentuknya mirip sebuah mahkota yang terbuat dari tanah. Meskipun terbilang sangat tua kubah itu tidak rusak dimakan usia. Di dalam masjid terdapat empat Sakaguru (tiang utama) sebagai penyangganya dengan empat Umpak (tumpuan tiang) yang bentuknya berbeda satu dengan lainnya. Bentuk Umpak yang tidak sama ini diperkirakan si pembuatnya lebih dari seorang. mungkin sama dengan jumlah Umpaknya, juga ada perbedaan karakter si pembuatnya.

Bagi masyarakat setempat keberadaan masjid tersebut juga terkait erat dengan cerita yang sudah turun-temurun, tentang Ki Ageng Tuhu Wono (Tugu Wono) bersama pengikutnya yang sedang babat alas (membuka hutan) untuk  pemukiman yang menjadi bagian dari siar Islamnya. Ditengah hutan mereka mendapati sebuah pondok yang bentuknya seperti masjid, temuan itu sempat membuat Ki Ageng Tohu Wono dan pengikutnya bertanya-tanya, gerangan yang mendirikan pondok itu. Namun, akhirnya dapat diketahui pendiri pondok tersebut tidak lain adalah Kanjeng Sunan Kalijaga dengan para wali yang ketika itu sedang mengemban tugas mencari kayu jati tua ke hutan donoloyo tetapi masuk di hutan Wonokerso lalu mendirikan pondok disana untuk beribadah dan beristirahat sebelum melanjutkan ke hutan Donoloyo.
Kisah Ki Ageng Tuhu Wono (Tugu Wono) dengan masjid tibannya sangat melekat di masyarakat Wonokerso. Tempat yang diyakini sebagai pusat penyebaran Islam pertama kali di Wonogiri. Kini Masjid Tiban Wonokerso dibawah pengawasan Balai Pelestari Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah, dan dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya yang diperkirakan didirikan tahun 1479 masehi. 

Kisah Penemuan Masjid 

Diceritakan, masjid ini erat kaitannya dengan pendiri Wonogiri yakni Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara I  yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara I.
Penemuan masjid ini pun kabarnya tanpa disengaja,dimana saat Pangeran Sambernyawa dan pasukannya terdesak dimedan pertempuran melawan tentara Belanda dan juga prajurit Kasunanan. Perang gerilya ini terjadi sekitar tahun 1741 hingga 1746 Masehi.

Dahulu wilayah itu merupakan hutan lebat yang dipenuhi pohon jati.Lantaran terdesak,pasukan Pangeran Sambernyawa masuklah ke dalam hutan itu. Kemudian di tengah hutan, Pangeran Sambernyawa menemukan sebuah masjid yang telah lama ditinggalkan.

Takpikir panjang,seluruh balapasukan Pangeran Sambernyawa diajak masuk ke masjid tersebut,untuk melepas lelah sekaligus melakukan ibadah shalat.

Namun tanpa disadari ada sebuah keajaiban,ketika tentara Belanda dan prajurit Kasunanan tiba ditengah hutan jati,mereka tak bisa melihat keberadaan masjid tersebut. Dan akhirnya Pangeran Sambernyawa dan wadya balanya lolos dari marabahaya.

Setelah kejadian tersebut, Pangeran Sambernyawa memerintahkan kepada anak buah Ki Ageng Ari Mayasto bernama Anjali, Karnafi dan Tuhuwono untuk membuka hutan jati ini yang kemudian diberi nama Wonokerso. Disamping itu, ketiganya diberi amanah untuk menjaga kelestarian Masjid yang kemudian diberi nama Masjid Tiban Wonokerso.

“Pemerintah telah menetapkan Masjid Tiban Wonokerso sebagai benda Cagar Budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang,” ujarnya.

Bahkan sampai saat ini masjid tersebut masih banyak dikunjungi para pemburu situs Islam.Terlebih di malam tertentu masih banyak para peziarah yang melakukan iktikaf di Masjid Tiban Wonokerso ini.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar