Translate

Selasa, 22 Agustus 2017

Hizb Darul A'la Imam Ibnu 'Arobi


Kapsul, atau tablet, tentu tidak mempunyai dosis yang sama. Demikian juga dosis obat antibiotik dan vitamin. Jika yang satu bisa diminum sehari tiga kali, yang lain mungkin hanya boleh diminum satu kali dalam sehari. Bahkan vitamin, yang jelas-jelas berguna, pun jika diminum melebihi dosis yang ditentukan dokter; efeknya akan berakibat buruk bagi tubuh. Badan bisa meriang atau bahkan keracunan. Begitu pula halnya dengan hizib dan ratib.

Hizib dan ratib, dilihat dari susunannya, sebenarnya sama. Yakni, sama-sama kumpulan ayat, dzikir; dan doa yang dipilih dan disusun oleh ulama salafush shalih yang termasyhur sebagai waliyullah (Kekasih Allah). Yang membedakan suatu ratib dengan ratib lain, atau hizib dan hizib lain, adalah asrar yang terkandung dalam setiap rangkaian ayat, doa, atau kutipan hadits, yang disesuaikan dengan waqi’iyyah (latar belakang penyusunan)-nya.

Namun, meski muncul pada waqi’ yang sama dan oleh penyusun yang sama, ratib sejak awal dirancang oleh para awliya untuk konsumsi umum, meski tetap mustajab. Semua orang bisa mengamalkan untuk memperkuat benteng dirinya, bahkan tanpa perlu ijazah. Meski tentu jika dengan ijazah lebih afdhal.

Sementara hizib, sejak awal dirancang untuk kalangan tertentu yang oleh sang wali (penyusun-red) dianggap memiliki kemampuan lebih, karena itu mengandung dosis yang sangat tinggi. Hizib juga biasanya mengandung banyak sirr (rahasia) yang tidak mudah dipahami oleh orang awam, seperti kutipan ayat yang isinya terkadang seperti tidak terkait dengan rangkaian doa sebelumnya padahal yang terkait adalah asbabun nuzul-nya. Hizib juga biasanya mengandung lebih banyak ismul a’zham (asma Allah yang agung), yang tidak ada dalam ratib.

Dan yang pasti, hizib tidak disusun berdasarkan keinginan sang ulama, karena hizib rata-rata merupakan ilham dari Allah SWT: Ada juga yang mendapatkannya langsung dari Rasulullah SAW seperti Hizbul Bahr, yang disusun oleh Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili.rhm Karena itulah, hizib mempunyai fadhilah dan khasiat yang luar biasa.

Selain itu, ada juga syarat usia yang cukup bagi pengamal hizib. Sebab orang yang sudah mengamalkan hizib biasanya tidak lepas dari ujian. Ada yang hatinya mudah panas, sehingga cepat marah. Ada yang, karena Allah SWT, menampakkan salah satu hizibnya dalam bentuk kehebatan, lalu pengamalnya kehilangan kontrol terhadap hatinya dan menjadi sombong. Ada juga yang berpengaruh ke rizqi, yang selalu terasa panas sehingga sering menguap tanpa bekas, dan sebagainya.

Karena itu pula diperlukan ijazah dari seorang ulama yang benar-benar mumpuni dalam arti mempunyai sanad ijazah hizib tersebut yang bersambung dan mengerti dosis hizib. Selain itu juga diperlukan guru yang shalih yang mengerti ilmu hati untuk mendampingi dan ikut membantu si pengamal dalam menata hati dan menghindari efek negatif hizib.

Ada satu lagi yang termasuk Khoriqul adah, yaitu kelebihan yang diberikan Allah didasari dari laku riyadhoh atau membaca wirid tertentu dengan dosis yang ditentukan pula, ilmu ini sering disebut ; ilmu hikmah, maka ilmu ini bisa dicapai atau dimiliki oleh siapapun, tidak memerlukan bakat khusus, siapa yang memenuhi persyaratan dan melaksanakan tata-caranya, dia akan memperolehnya.

Ada yang berpendapat, bahwa ilmu hikmah itu bukan bagian dari tasawuf, meskipun ada ulama-ulama sufi yang memberikan ilmu hikmah, ilmu hikmah bisa berupa do’a atau wirid-wirid semacam hizib, asma atau berupa wifiq\wafak ( rajah-rajah berupa angka maupun huruf hijaiyyah ).

Ulama-ulama yang menerangkan tentang ilmu hikmah ini semisal ; Syaikh Ali al-Buny dengan kitab man’baul hikmah yang masyhur, Abi hasan as-Syadzili dengan kitab Sirrul jalil yang membuat juga HIZIB NASHR yang melegenda.

HIZIB DAN JIMAT

Mengamalkan doa-doa, hizib dan memakai azimat pada dasanya tidak lepas dari ikhtiar atau usaha seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk doa kepada Allah SWT. Jadi sebenanya, membaca hizib, dan memakai azimat, tidak lebih sebagai salah satu bentuk doa kepada Allah SWT. Dan Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdoa kepada-Nya. Allah SWT berfirman:

اُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ

‘Berdoalah kamu, niscya Aku akan mengabulkannya untukmu. (QS al-Mu’min: 60)

Ada beberapa dalil dari hadits Nabi yang menjelaskan kebolehan ini. Di antaranya adalah:

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأشْجَعِي، قَالَ:” كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ

Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ”Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan.” (HR Muslim [4079]).

Dalam At-Thibb an-Nabawi, al-Hafizh al-Dzahabi menyitir sebuah hadits:

Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya) Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut.” Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anakanaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya. (At-Thibb an-Nabawi, hal 167).

Dengan demikian, hizib atau azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam. Memang ada hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman menggunakan azimat, misalnya:

عَنْ عَبْدِ اللهِ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الرُّقًى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَالَةَ شِرْكٌ

Dari Abdullah, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “’Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet, adalah perbuatan syirik.” (HR Ahmad [3385]).

Mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar, salah seorang pakar ilmu hadits kenamaan, serta para ulama yang lain mengatakan:

“Keharaman yang terdapat dalam hadits itu, atau hadits yang lain, adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung Al-Qur’an atau yang semisalnya. Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah SWT, maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil barokah serta minta perlindungan dengan Nama Allah SWT, atau dzikir kepado-Nya.” (Faidhul Qadir, juz 6 hal 180-181)

lnilah dasar kebolehan membuat dan menggunakan amalan, hizib serta azimat. Karena itulah para ulama salaf semisal Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah juga membuat azimat.

A-Marruzi berkata, ”Seorang perempuan mengadu kepada Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal bahwa ia selalu gelisah apabila seorang diri di rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya sendiri, basmalah, surat al-Fatihah dan mu’awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas).” Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Abu Abdillah yang menulis untuk orang yang sakit panas, basmalah, bismillah wa billah wa Muthammad Rasulullah, QS. al-Anbiya: 69-70, Allahumma rabbi jibrila dst. Abu Dawud menceritakan, “Saya melihat azimat yang dibungkus kulit di leher anak Abi Abdillah yang masih kecil.” Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menulis QS Hud: 44 di dahinya orang yang mimisan (keluar darah dati hidungnya), dst.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah wal Minah al-Mar’iyyah, juz II hal 307-310)

Namun tidak semua doa-doa dan azimat dapat dibenarkan. Setidaknya, ada tiga ketentuan yang harus diperhatikan.

1. Harus menggunakan Kalam Allah SWT, Sifat Allah, Asma Allah SWT ataupun sabda Rasulullah SAW

2. Menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa lain yang dapat dipahami maknanya.

3. Tertanam keyakinan bahwa ruqyah itu tidak dapat memberi pengaruh apapun, tapi (apa yang diinginkan dapat terwujud) hanya karena takdir Allah SWT. Sedangkan doa dan azimat itu hanya sebagai salah satu sebab saja.” (Al-Ilaj bir-Ruqa minal Kitab was Sunnah, hal 82-83).

HIZIB DAURUL A'LA adalah hizibnya  Syaikhul Akbar Muhyiddin Ibnu Al'Arabi, seorang Guru Agung yang luar biasa dan banyak bertemu, berkawan dan belajar kepada para Waliyullah (qutub, abdal, akhyar dll) di zamannya, sampai akhirnya beliau juga menjadi Waliyullah Agung saat itu.

Salah satu karyanya yang fenomenal adalah kitab fushushul hikam dan futuhatul makiyyah ,dan salah satu amalan yang beliau ajarkan pada banyak orang adalah Hizib Wiqoyah ini atau Daurul a'la.

Mengenai saat pembacaan Hizib Wiqoyah ini, ada berbagai macam variasi, ada yang hanya membacanya ba'da subuh, ada yang membacanya ba'da isya, ada juga yang membacanya pada tengah malam,tetapi dari hasil pembelajaran saya pribadi melalui Guru2 saya dan juga pengkajian manuskrip2 peninggalan para Guru terdahulu, pengalaman Hizib tersebut bisa diamalkan kapan saja, kalaupun ada waktu khusus itu sengaja ditetapkan agar menjadi wirid (amalan yang diamalkan berulang-ulang dengan ketetuan yang selalu sama) pribadi bagi si pengamal.

Waktu pengamalan yang berbeda akan menghasilkan pola energy yang berbeda, menghasilkan faedah yang berbeda. Seperti halnya Hizib Bahri, tidak selalu harus diamalkan ba'da ashar atau ba'da subuh, pengamalan yang mengikuti kaidah falakiyyah akan menghasilkan khowas yang berbeda.

Hizib Wiqoyah atau Hizib Daurul A'la ini merupakan salah satu hizib yang mempunyai khowas sangat banyak, sebagaimna hal-nya Hizib Bahr , ada cara-cara tertentu dan wirid tambahan untuk mengaktifkan pola energy yang tersembunyi padanya, biasanya rahasia pembacaannya diajarkan seacara langsung, jarang ditulis dan kalupun ditulis, tulisannya itu disimpan dengan baik agar tidak sembarang orang bisa mengamalkannya.

Kalau diteliti dengan seksama, terlihat bahwa ada 33 kalimat inti dari Hizib Wiqoyah ini, dan 33 kalimat inti tersebut selalu diawali dengan 2 asmaul husna dan ayat quran pilihan yang memiliki karomah tertentu, nah inilah kunci pola energy yang tersembunyi tadi, dengan kaifiyat tertentu pola yang tersembunyi itu diaktifkan dengan kunci utama asmaul husna dan ayat tersebut,
Selain itu, pada pengajaran Hizib Wiqoyah ini juga diajarkan wafaq-wafaq mistik yang diambil dari kalimat dan asma tertentu yang ada didalam hizib ini.. tentunya hal ini bukanlah hal yang aneh laggi, karena Syeikhul Akbar Ibnu Arabi sangat ahli sekali dalam bidang ini, juga dalam bidang ilmu falak serta ilmu esoteris (rahasia) lainnya.

Lalu apa saja khowas dari Hizib ini?
Dengan metode pembacaan yang benar, hizib ini bermanfaat untuk perlindungan dari kejahatan manusia, hewan serta makhluk gaib, menghilangkan ketakutan, kecemasan, penyembuhan fisik (sakit kepala, sakit perut, sakit mata, sakit gigi, menyembuhkan demam, kebutaan,patah tulang, dll), penyembuhan mental-emosional (ketakutan, kecemasan, trauma), inner beauty, kewibawaan dan derajat, kemuliaan, disukai orang (mahabbah), kerezekian, kemudahan segala urusan, kemenangan perang, keberanian, menundukkan jin dan makhluk gaib yang mengganggu, membantu mengingat syahadat ketika sakaratul maut, dll.

Untuk mengamalkan hizib ini, harus dengan ijasah khusus kepada guru yang sudah diberi wewenang untuk memberi ijasah.

حزب الدور الأعلى للشيخ محي الدين بن العربي قدس الله سره

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ﴿1﴾الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿2﴾ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ﴿3﴾ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿4﴾ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿5﴾ اهْدِنَاالصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿6﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ﴿7﴾
 اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ .
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ ﴿1﴾ هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ طِينٍ ثُمَّ قَضَى أَجَلًا وَأَجَلٌ مُسَمًّى عِنْدَهُ ثُمَّ أَنْتُمْ تَمْتَرُونَ ﴿2﴾ وَهُوَ اللَّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الْأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ ﴿3﴾ .
 (اللهم صلِّ على سيدنا محمدٍ النور الذاتي الساري سرهُ في سائر الأسماء والصفات وعلى آله وصحبه وسلم عدد كمال الله وكما يليق بكماله ، سبعاً)
اللهم صلِّ على الذاتِ المطلسمِ والغيبِ المطمطم والجمال المكتم لاهوتِ الجمال وناسوتِ الوصال وطلعة الحق كثوب إنسان الأزل من لم يزل في غاب ناسوت وصال القرب اللهم صلِّ به منه فيه عليه . يا عظيمُ أنت العظيمُ قدهمني أمرٌ عظيم وكل أمرٍ يهون بأمرك يا عظيم .
الصلاة والسلام عليك يا رسول الله . الصلاة والسلام عليك يا حبيب الله. الصلاة والسلام عليك يا سيد المرسلين  أنت لها ولكل كربٍ عظيم يا ربِّ فرج عنا بفضلِ بسم اللـه الرحمن الرحيم اللـهُمَّ يَاحَيُّ يَاقيُّوْمُ بِكَ تَحَصَنْتُ فَاحْمِنِى بِحِمَايَتِكَ كِفَايَةَ وِقايةٍ حَقِيْقَةٍ بُرْهَانٍ جِرْزِ أَمَانٍ بِسْمِ اللّـهِ
وَأدْخِلْنِى يَاأوَّالُ ياآخِرُ مَكْنُوْنٌ غَيْبِ سِرِّ دَآئِرَةٍ وَكَنْزِ مَاشآءَ اللّـهُ . لاَقُوَّةَ إلاَّ باِللّـهِ
وَاسْبِلْ عَلىَّ يَاحَلِيْمُ يَاسَتَّارُ كَنَفَ سِتْرٍ حِجَابٍ صِيانَةٍ نَجَّاةٍ وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللـهِ
وَأُبْنِ يَامُحِيْطُ يَاقَادِرُ عَلَيَّ سُوْرَامَانٍ إحَاطَةٍ مَجْدٍ سُرَادِقِ عِزٍّ عَظَمَتِ ذلِكَ خَيْرٌ ذلِكَ مِنْ أيَاتِ اللـهِ
وَأعِذ ْنِى يَارَقِيْبُ يَامُجِيْبُ وَاحْرُسْنِى أهْلِى وَمَالِى وَوَلَدِى بِكَلاَءَةٍ إغَاثَةٍ وَمَاهُمْ بِضَآرِيْنَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إلا بِإذْنِ اللّـهِ
وَقِنِى يَامَانِعُ يَانَافِعُ بِأيَاتِكَ وأسْماَئِكَ وَكَلِمَتِكَ شَرَّ الشَّيْطَانِ فإنَّهُ ظاَلِمٌ أوْجَبَّارٌ بَغىَ عَلَىَّ أخَذَتْهُ غَاشِيَةٌ مِنْ عَذَابِ اللَّـهِ
وَنَجِّنِى يَامُذِّلُّ يَامُنْتَقِمُ مِنْ عَبِيْدِكَ الظَّالِمِيْنَ اْلبَاغِيْنَ عَلَىَّ وَأعْوَانِهِمْ فإنَّهُمْ لِى أحَدٌ مِنْهُمْ بِسُوْءٍ خَذَلَهُ اللَّـه
وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقُلُوْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيْهِ مِنْ بَعْدِ اللـهِ
وَاكْفِنِى يَاقَابِضُ يَاقَهَّارُخَدِيْعَةَ مَكْرِهِمْ وَارْدُدْ عَنِّى مَذْمُوْمِيْنَ مَدْحُوْرِيْنَ بِتَخْسِيْرِتَغْيِيْرِتَدْسِيْرٍ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُوْنَهُ مِنْ دُوْنِ اللّـهِ
وَأذِقْنِى يَاسُبُّوْحُ يَاقُدُّوْسُ لَذَّةَ مُنَاجَاةٍ أقْبِلْ وَلاتَخَفْ إنَّكَ مِنَ الأمِنِيْنَ بِفَضْلِ اللـهِ يَامُمِيْتُ نَكَالَ وَبَالِ زَوَّالِ فَقُطِعَ دَابِرُ القَوْمِ الذِينَ ظَلَمُوْا وَالحَمْدُ لِلـهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ يَاسَلاَمُ يَامُؤمِنُ صَولَةُ جَوْلَةٍ دَوْلَةِ الأعْدَاءِ بِغَايَةٍ بِدَايَةٍ لَهُمُ البُشرَى فِى الحَيَوةِ الدُّنْيَا وَفِى الأخِرَةِ لاَتَبْدِيْلَ لِكَلِمَاتِ اللـهِ
وَتَوَجِّنِى يَاعَظِيْمُ يَامُعِزُّ بتِاَجٍ مَهَابَةٍ كِبْرِيَاءٍ جَلاًلٍ سُلْطَانٍ مَلَكُوتِ عِزّ عَظَمَةٍ وَلايَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ إنَّ العِزَّةَ للـهِ
وألبِسْنِى ياجَلِيْلُ ياكبيرُ خِلْعَةَ جَلالٍ جَمَالٍ إقباَلْ إكمَالْ فلماَّ رَأينَهُ أكبَرْنَهُ وقطَّعْنَ أيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ للـهِ
وألْقِ ياعزيزُ ياودودُ علىَّ مَحَبَةً مِنكَ فتَنْقادُ وتخْضَعُ بها قلوبُ عِبادِك بالمحبَّةِ والمُعزَّةِ والمَوَدَّةِ مِنْ تَعْطِيْفٍ تَأْلِيْفٍ يُحِبُّوْنَهُمْ كَحًبِّ اللـهِ والذين أمنوا أشَدُّ حُبًّا للـهِ
وأظهِرْ علىَّ ياظاهرُ ياباطنُ أثارَ أسْرَارِ أنوارِ يُحِبُّهُمْ ويُحِبُّونَهُ أذِلَةً على المؤمنين أعِزَّةِ على الكافرين يُجاهِدُونَ فى سبيل اللـه وَوَجِّهْ اللـهُمَّ ياصمدُ يانورُ وَجْهِىْ بِصِفَآءِ جَمَالِ أنْسِ إشْرَاقِ فإنْ حَاجُّوكَ فقُلْ أسلمتُ وجْهِيَ للـهِ
وجَمِّلْنِى يابديعُ السمواتِ والأرضِ ياذالجلال والإكرامِ بالفَصَاحَةِ والبلاغةِ والبَراعَةِ واحلُلْ عُقدَةَ مِنْ لِسَانِى يَفقَهُوا قَولِى بِرِفَّةٍ وأْفَةٍ رحمةِ ثُمَّ تَلِيْنُ جُلودُهُمْ وقلوبُهم إلى ذكر اللـهِ
وَقَلِّدْنِى ياشديدَ البَطْشِ ياجبَّارُ ياقهَّارُ والشِّدَةِ والقُوَةِ والمَنَعَةِ مِن بَأْسٍ جَبَرُوْةِ عَزَّةٍ وَمَا النَّصْرُ إلاَّ مِنْ عِنْدِ اللـهِ
وأدِمْ علىَّ يابَاسِطُ يافتَّاحُ بَهْجَةَ مَسَرَّةٍ رَبِّ اشْرَحْ لِى صَدْرِى وَيَسِّرْلِى أمْرِى بِلَطائِفِ عَوَاطِفِ ألمْ نشرَحْ لك صَدْرَكَ وَبِأشَائِرِ بَشَائِرِ يَوْمَئِذٍ يفرَحُ المُؤمِنُوْنَ بِنَصْرِ اللـهِ
وأنزِلِ اللـهُمَّ يالطيفُ يارؤفُ بقلبى الإيمان والإطْمِنَانِ والسكينةِ لأَكُوْنَ مِنَ الذينَ وتَطْمَئِنَّ قلوبهُم بذكر اللـه
وأفرِغْ عليَّ ياصَبُورُ ياشَكورُ صَبَرَ الذِينَ تدرَّعُوا إثباتَ يَقِينٍ كَمْ مِن فِئَةٍ تَلِيلَةٍ غَبَتْ فِئَةٍ كَثِيرَةَ بإذنِ اللـهِ
واحْفَظْنِى ياحفيظُ ياوكيلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِى وعَنْ يَمِيْنِى وَعَنْ شِماَلِى ومِن فوقِى ومِن تَحْتِى بِوُجُوِد شُهُودِ جُنُودِ له مُعاقِباتٌ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ ومِنْ خَلْفِى يَحْفَظُونَه مِن أمرٍ اللـه
وثبِّتِ اللـهمَّ ياثابِتُ ياقادم يادائم قدَمَيَّ كما ثبَّتَ القائلُ وكيفَ أخافُ ماأشرَكْتُمْ ولاتَخَافُوْنَ أنكم أشْرَكْتُمْ باللـهِ
وانْصُرْنِى يانِعْمَ المَولىَ ويانِعْمَ النَّصِيْرُ. عَلَى أعْدَائِـى نَصَرَ الذِى قِيْلَ لهُ أتَـتَّخِذُنا هُزُوًا. قال أعوذ باللـه
وأيِّدْنِى ياطالبُ ياغلبُ بِتَـأئِيدِ نَبِيِكَ مُحَمَدٍ صلى اللـه عليه وسلم المُؤَّيَّدِ بتَعْزيزٍ تَوقِيرٍ إنا أرسلناك شاهدا ومُبشِرا ونذيرا. لتُؤمِنُوا باللـه
واكفِنى ياكافى ياشافِى ْلأعْدَاءِ والأسْوَاءِ بِعَوَائِدِ فَوَائِدِ لو أنزلنا هذا القرآن على حبل لَرَأَيْتَهُ خاشِعا مُتصدِّعًا من خشية اللـه
وامنُنْ علىَّ ياوهَّابُ يارزذَاقُ بِحُصُولِ وُصُولِ قُبُولِ تَيْسِيْرتَسْخِيْرِ كُلُوْا واشرَبُوا مِن رزقِ اللـهِ
وتولَّنِى ياوليُّ ياعليُّ بالوِلايَةِ والعِنايَةِ والرَعَايَةِ والسلامةِ بمَزِيْدِ إيْرَادِ إسْعَادِ إمْدادٍ ذلك مِن فضل اللـه
وأكرِمْنِى ياغنِىِّ ياكريم بِالسَّعَادَةِ والكرامةِ والمغفرة وكما أكرَمْتَ الذين يَغُضُّوْنَ أصْوَاتَهُم عِندَ رَسُولِ اللـهِ
وَتُبْ عَلىَّ ياتوَّابُ ياحكيمُ توبةً نَصُوْحًا ِلأَكُونَ مِن الذين إذا فَعلوا فاحِشَةً أوظلموا أنفُسَهُم ذَكَرُوا اللـهَ فَاستَغْفَرُوا لذُنوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِروا الذنُوبَ إلا اللـهُ
وألزِمْنِى ياواحِدُ ياأحدُ كلمةَ التقوى كما ألزَمْتَ حبيبك محمدًا صلى اللـه عليه وسلم حيثُ قُلتَ فاعْلمْ أنهُ لا إله إلا اللـهُ
واختِمْ لِى يارحمنُ يارحيمُ بِحُسْنِ خاتمةٍ الناجِيْنَ والرَّاجِينَ قُلْ يَاعِبَادِيَ الذين أسرفوا على أنفُسِهِم لاتقنَطُوا من رحمة اللـه
وأسْكِـنِّى ياسميعُ ياقريبُ جَنَّةَ أُعِدَّتْ للمُتقين دعواهم فيها سبحانَكَ اللـهم وتحِيَتُهُمْ فيها سلامٌ وآخَرُدعْوَاهًم أنِ الحَمْدُ للـه
يا أللـه  يَا اللهُ يَا اللهُ يَا رَبُّ يَا نَافِعُ  يارحمن يارحيم أسئلك بحُرمَةِ هذه الأسماء والأيات والكلمات سُلطانًا نصيرًا ورِزقًا كثيرَا وقلبًا قريباً وقبرا منيرا وحِسابا يسيرا وأجرا كبيرا وصلى اللـه على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه وسلمَ تسليما كثيرا والحمد للـه رب العالمين
بسم الله الرحمن الرحيم  أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ ﴿1﴾ وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ ﴿2﴾ الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ ﴿3﴾ وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ ﴿4﴾ فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا﴿5﴾إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا﴿6﴾فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ﴿7﴾وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ﴿8﴾ ثلاثاً.
اللهم صلَّ على سيدنا محمدٍ صلاة تحل بها العقد وتفرج بها الكرب وتشرح بها الصدور ، وتيسر بها الأمور في الدنيا والآخرة وعلى آله وصحبه وسلم تسليماً كثيراً .

Keterangan:
Syekh Akbar Muhyiddin Ibn ‘Arabi memiliki amalan wirid yang masyhur: al-Awrad al-yawmiyya, atau Awrad al-ayyam wa al-layal, yang dibaca setiap hari pada waktu tertentu. Dan kita tahu banyak wirid yang mesti dibaca dalam hari, atau waktu tertentu, untuk mendapatkan hasil optimal. Kita tentu menduga bahwa ada sesuatu dibalik “waktu” sehingga para Awliya Allah memberi perhatian pada bagian-bagian dari waktu itu.

Wird sulit diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Akar kata wird mengandung konotasi mencapai, menjangkau, sampai, muncul atau diterima. Bagi para pengembara gurun di Arab, akar kata ini merujuk pada sumber air, oase, atau sumur, tempat para pengelana mengambil air. Dalam konteks spiritual, istilah “wird” itu biasanya diaplikasikan pada amalan khusus pada waktu tertentu pada siang atau malah hari. Ini adalah amalan tambahan (sunnah). Ada banyak wirid sufi termasyhur selain wiridnya Ibn Arabi, seperti Hizb Bahr nya Syekh Hasan Syadzili, atau Hizb Nawawi, dan sebagainya. Amalan itu bukan amalan biasa, dan biasanya tidak dimaksudkan untuk dibaca secara berjamaah. Dalam kasus doa Ibn Arabi ini, dan doa-doa sufi agung lainnya, amalan lebib sering berbentuk seperti “munajat”, dimana isinya mengandung indikasi betapa mendalamnya pemahaman spiritual penyusunnya. Maknanya menunjukkan bahwa apa yang “dibaca” adalah hal-hal yang “mendatangi hati” (warid) dan “diterima” oleh pembacanya. Yang istimewa dari setiap amalan Wali Allah adalah ia bukan sekadar bacaan dan doa, tetapi juga sarana pendidikan ruhani yang penting.

Dalam surat ar-Rahman tercantum bahwa Setiap yang ada di langit dan bumi memohon kepada-Nya; dan setiap saat Dia selalu dalam kesibukan (beraktivitas). Bagi Syekh Ibn Arabi, ayat ini mengekspresikan tema eksistensi yang penting. Setiap saat, semua makhluk, dari yang sebesar galaksi sampai partikel terkecil, selalu memohon dan menerima anugerah pemeliharaan, baik secara fisik maupun ruhani. Menurut beliau, tak ada satupun makhluk yang tidak memohon kepada Allahu ta’ala, tetapi masing-masing menerima jawaban sesuai dengan tingkat permohonannya. Jadi sebagian dari “kesibukan” Tuhan adalah memberi jawaban atas doa. Respon Tuhan secara intrinsik adalah keniscayaan, sebab Dia-lah yang mewajibkan hamba-Nya berdoa dan Dia pula yang berjanji menjawabnya. Ini adalah hubungan timbal-balik: Tuhan dan hamba adalah yang meminta sekaligus yang diminta (talib ma matlub). Barangsiapa menjawab “panggilan” Tuhan melalui Hukum Wahyu, maka Tuhan akan menjawab permintaan hamba-Nya yang memenuhi panggilan-Nya. Maka, pada hakikatnya, menurut Syekh Ibn Arabi, semua permintaan tertuju kepada-Nya, sebab tidak sesuatupun (wujud) selain Dia.

Karena selalu ada jawaban dari Allah atas permintaan kita, maka kita seharusnya menyadari betul hal-hal yang dimintakan. Syekh Ibn Arabi menulis dalam Futuhat al-Makiyyah, IV:

“Allah lebih dekat kepada hamba-Nya ketimbang urat lehernya.” Disini Dia membandingkan kedekatan-Nya dengan hamba-Nya dengan kedekatan hamba dengan dirinya sendiri. Ketika seseorang “meminta” dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu dan kemudian ia bertindak, maka tak ada jeda waktu antara permintaan dengan respon. Momen meminta pada esensinya adalah momen menjawab. Jadi kedekatan Tuhan dalam menjawab hamba-Nya adalah sama dengan kedekatan hamba dalam menjawab permintaan pada dirinya sendiri.

Pada hakikatnya, dibalik setiap permintaan ada satu tujuan utama: memandang segala sesuatu dari perspektif riil. Dalam pengertian ini, setiap doa adalah sebentuk “mengingat” atau zikir. Saat membaca doa, seseorang [seharusnya] tidak sekadar membaca berulang-ulang secara mekanis, tetapi sembari menghayati dan menyadari serta mengakui Kehadiran Tuhan. Ini berarti ia harus mengingat-Nya dengan sepenuh hati. Jika ia sampai pada level ini maka doa menjadi ingatan timbal-balik, seperti firman-Nya: “Ingatlah Aku dan Aku akan mengingatmu.”

Bentuk doa yang paling intim adalah munajat, semacam dialog dengan Yang Maha Goib. Membaca teks doa hanya satu bagian. Bagian lain yang lebih penting adalah “situasi dialog yang akrab” dengan Allah, mengingat-Nya sepenuh hati, mengundang-Nya dan, karena itu, diundang oleh-Nya. Maka dengan berdoa seseorang sesungguhnya juga “kembali” kepada hakikat dari kenyataan, sebuah tindakan “kembali” ke asal yang mesti diulang secara konstan. Semua mursyid tarekat menekankan bahwa hal ini tidak bisa dicapai melalui proses intelektual biasa, tetapi melalui hati (qalb), sebab hati adalah cermin yang memantulkan tajalli Ilahi dan, karenanya, hanya hati yang :bisa “melihat” manifestasi ilahi. Kapasitas hati untuk melihat inilah yang mentransformasi doa dari bentuk repetisi menjadi sebuah percakapan yang bermakna dan intim.

Dalam kitab Fusush al-Hikam, Bab Tentang Muhammad, Syekh Ibn Arabi menulis: “Karena doa adalah percakapan yang intim, maka ia adalah juga zikir. Dan barangsiapa mengingat Allah, ia bersama dengan Allah dan “duduk” bersama-Nya… dan barangsiapa yang “duduk” bersama Allah dan memiliki mata batin yang jernih, ia akan “memandang teman duduknya.” Ini adalah mushahadah dan ru’yat. Jika dia tak memiliki mata batin maka dia tak akan mampu melihat-Nya. Sesungguhnya melalui penglihatan batin dalam doa inilah orang yang berdoa akan mengenali maqom spiritualnya.”

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Hirzul Yamani

Hirzul Yamani/ Sayfi merupakan Rajanya Hizib yg di populerkan oleh Syeikh Abdul Qodir Al-Zailani, Berbeda dengan Hizib2 yang lainnya Hirzul Yamani ini Silsilah ke ilmuannya bersambung kepada Rosululloh S.A.W, Dengan Hirzul Yamani inilah Syeikh Abdul Qodir Zailani mendapatkan lebih dari 300 Karomah, Pada jaman Rosululloh S.A.W Hirzul Yamani ini di populerkan oleh Sayyidina Ali Karromallohu Wajhahwa R.A dengan nama Ainus Sayfi ( Mata Sayfi/pedang )

Syeikh Al-Imam Al-'Allamah Al-Hamam Sayyyid Muhammad bin Khotiruddin bin Bayazid bin Khowajah di dalam kitabnya Jawahir Al-Khomsi berkata " Ketahuilah bahwa sesungguhnya " Sayfi " merupakan Ayat dari Ayat2nya Alloh Ta'ala di dalam Sayfi mengandung banyak sekali ke Ajaiban-Ke Ajaiban yang tidak terhitung dan terletak keanehan2 yang tidak dapat di ingkari, banyak para Aulia yg mendapatkan berbagai macam Karomah dari Wasilah Do'a Ini ( Hirzul Yamani/ Sayfi ).

Di riwayatkan oleh Al-Imam Ja'far Shodiq R.A Bagi Do'a ini mempunyai bermacam-Macam Laqob ( Julukan ) di antaranya : Sayfulloh ( Pedangnya Alloh ), Yaminulloh, Qudrotulloh, Yadulloh, Burhanulloh, Simsimulloh, Hirzul Yamani, Sahmulloh, Hirzul Barri wal Bahri ( Berbeda dengan Hizib Bahr/Hizib Barr ), Hirzul Murtadhowi, Hirzul A'dzom, Hirz Sayfi, Sayfi

Di riwayatkan dari Al-Imam Tohir bin Muhammad beliau menerima Hirzul Yamani ini dari Syeikh Al-Imam Tamimi As-Tsaqofi beliau menerimanya dari Amirul Mu'minin Ali ibni Abi Tholib Karromallohu wajhah Beliau menerimanya dari Rosululloh S.A.W beliau menerimanya dari Malaikat Jibril A.S berkata Malaikat Jibril A.S " Barang siapa yang membaca Hirz ini Maka dia senantiasa di jaga oleh Alloh S.W.T dari segala macam tipu daya Musuh1 nya, dan senantiasa dapat mengalahkan musuhnya baik lahir maupun Batin, Dirinya akan senantiasa di jaga dari kejahatan2 Sihir, Ilmu 2 Hitam, Kejahatan Mata ( Gendam Hipnotis dsj nya ), Di jaga dari segala macam Binatang Buas seperti Harimau, Singa, Ular, Kalajengking berbisa, Serigala, Dan pembaca Hirz ini akan senantiasa di terima , Di Mulyakan,di Cintai, Di Ta'ati, di patuhi ucapannya oleh semua makhluq2 nya Alloh, Dan barang siapa yang membaca Hirz ini 1x maka Alloh akan memberikan pahala ibadah 1 tahun.

Khasiat2 dari Hirz Al-Yamani

Telah berkata Sayyidina Ali Ibni Abi Tolib R.A " Barang siapa yang ingin memisahkan hubungan 2 orang yg tidak di ridhoi Alloh Ambillah satu kepal tanah kuburan yg tidak terurus bacakanlah pada tanah tersebut Hiriz ini 1x lalu tebarkanlah tanah tsb di salah satu rumah 2 orang tersebut dengan niat memisahkan hubungan antara keduanya, Maka dengan Izin Alloh S.W.T akan terjadi perpecahan di antara keduanya dengan cepat".

Barang siapa yang menguinginkan Pembesar2, Pemimpin2, Ulama'2, semua manusia, Jin, dan Hewan Taat dan di patuhi perintahnya maka tulislah Hiriz ini dengan tinta Za'faron yang di campur Minyak Misik dan sedikit Air Hujan di tulis pada Kulit Kijang lalu tulisan tsb di bawa kemanapun dia pergi, Maka semua Makhluq Alloh akan taat dan patuh pada apa-apa yg dia perintahkan dan dia akan senantiasa di jaga oleh Alloh dari segala macam jenis senjata tajam ( Kebal ) dan apabila tulisan tersebut di simpan di bawah batu yg besar dengan niat menarik orang yg kabur atau pencuri maka orang tersebut akan datang kembali.

Apabila anda menginginkan melihat permasalahan anda baik tidaknya dan apa jalan keluarnya , Maka Sholatlah 2 Roka'at ( Hajat ) tepat tengah malam kemudian bacalah Sholawat Nabi 100 x setelah itu bacalah Hiriz ini 3 x, Lalu bacalah Ayat Qursy 1x, Maka Alloh akan memperlihatkan baik tidaknya masalah anda dengan jalan keluarnya, dan Alloh S.W.T akan menyelamatkan anda dari kejadian2 yang tidak di inginkan dan Alloh akan memberikan Rizqi pada anda dari rizqi yang tidak di sangka sangka.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمْ

عَزَّمْتُ عَلَيْكُمْ يَااَصْحاَبَ السِّحْرِ وَاْلوَسْوَسِ وَاعْتَصَمْتُ بِك َيَا اللهْ 3 × ِبحَقِّ الْخَضِرِ وَاِلْيَاسَ وَبِحَقِّ كَاهِيْجٍ مَهِيْجٍ كاَهٍى كَاهِيْجٍ َمرْمَحْجُوْجٍ مَرْجُوْئٍى َوِبحَقِّ اَيْجٍ جَاجِرٍ وَبِحَقِّ هَامُوْئٍى هَاجٍ اَجِيْرٍ اَنْجَاسٍ مَهْمَاجُوْئٍى َونُوْحٍ وَاعْتَصَمْتُ بِكَ مِنْ شَرِّ الْجِنِّ وَاْلإنْسِ وَهَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَاَتْبَاعِهِمْ وَاَعُوْذُ بِكَ مِنْ كُلِّ بَلآَءٍ وَبِحَقِّ دَنْيَائِيلْ وَبِحَقِّ اَيْجُوْنٍ × 3 وَنَوَارِسٍ × 3 وَبِحَقِّ اَهْيَاسَرَاهِيَا اَدُوْنَيَا اَصْبَاؤُوتَ وَبِحَقِّ عَظَمَتِكَ الْجَلِيْلَةِ يَااللهْ يَااللهْ يَااللهْ اِحْفَظْنِىْ مِنْ جَمِيْعِ الْبَلاَءِ وَاْلأفَاتِ  وَبِحَقِّ عِيْسَى وَمُوْسَى وَبِحَقِّ اِدْرِيْسَ وَشِيْثَ وَبِحَقِّ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ يَامَنْ لاَ بِدَايَةَ وَلاَنِهَايَةَ وَاعْتَصَمْتُ بِكَ مِنْ شَرِّ الْجِنِّ وَاْلإنْسِ بِسِرِّ قِرَاءَةِ السَّيْفِ فاَسْتَجِبْ دُعَائِيْ يَاغِيَاثَ اْلمُسْـتَغِثِيْنَ “اَغِثْنِيْ” × 3، يَامَنْ لَيْسَ كَمِثْلِه شَيْئٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيمْ. وَيَا نِعْمَ اْلمَوْلَى وَياَ نِعْمَ النَّصِيرْ بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينْ.

BISMILLAAHIRROHMAANIRROHIIM. ‘AZAMTU ‘ALAIKUM YAA ASHHAABAS-SIHRI WAL WAS WASI WA’TASHOMTU BIKA YAA ALLAH 3 X BIHAQQI KHODHIRI WA ILYAASA WABIHAQQI KAAHIIJIN MAHIIJIN KAAHIN KAAHIIJIN MAR MAHJUUJIN MARJUU-IN WABIHAQQI AIJIN JAAJIRIN WABIHAQQI HAAMU-IIN HAAJIN AJIIRIN ANJAASIN MAHMAAJUU-IN WANUUHIN WA’TASHOMTU BIKA MIN SYARRI JINNI WAL INSI WAHAMAZAATISY-SYAYAATHIINI WAATBAA’IHIM WAA’UUDZUBIKA MIN KULLI BILAA-IN WABIHAQQI DANYAAIIL WABIKHAQQI AIJUUNIN 3 X WANAWAARISIN 3 X WABIHAQQI AHYAASAROOHIYAA ADUUNAYAA ASHBAA-UTA WABIHAQQI ‘AZHOMATIKA ALJALIILATI ( YAA ALLAAH 3 X ) IHFAZHNII MIN JAMII’IL BALAAI’ WAL AFAATI WABIHAQQI ISA WA MUSA WABIHAQQI IDRISA WA SYITSA WABIHAQQI SAYYIDINAA MUHAMMADIN SHOLALLAAHU ‘ALAIHI WASSALAM YAA MAN LAA BIDAAYATA WALA NIHAAYATA WA’TASHOMTU BIKA MIN SYARRI JINNI WAL INSI BISIRRI QIRO’ATIS SAIFI FASTAJIB DU’AA-II YAAGHIYAATSAL MUSTAGHITSIINA ( AGISTNII 3 X ) YAAMAN LAISA KAMITSLIHI SYAI-UN WAHUWAS SAMII’UL ‘ALIIM. WA YAANI’MAL MAULAA WAYAA NI’MAN-NASHIIR BIROHMATIKA YAA ARHAMAR ROOHIMIINA WASHOLALLAHU ‘ALAA SAYYIDINA MAHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHI WASHOKHBIHI WASALLAM WALHAMDULILLAHI ROBBIL ‘ALAMIIN.

Artinya :

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Saya bermaksud melakukan sesuatu kepadamu hai pemilik sihir dan was was. Dan Saya berpegangan kepadamu yaa Allah 3 x. Dengan sebab haknya Khidir dan Ilyas. Dan dengan haknya Kahiijin Mahiijin Kahinkahiijin Marmanjujin Marjuin. Dan dengan haknya Aijin Jajirin. Dan dengan haknya Hamuin Hajin Ajirin Anjasin Mahmajuin Wasuhin. Dan Saya berpegangan kepada Mu dari kejahatan jin dan manusia dan dari godaan syetan dan pengikutnya. Dan Saya berlindung kepada Mu dari setiap bala. Dan dengan haknya Danyaiil dan dengan haknya Aijuun 3 x dan Nawarisin 3 x. Dan dengan haknya Ahyassaroohiya Aduunnaya Asbauta. Dan dengan haknya kebesaran Mu yang Agung. Yaa Allah 3 x jagalah Saya dari segala bala dan kerusakan. Dan dengan haknya Isa dan Musa dan dengan haknya Idris dan Syiit. Dan dengan haknya junjungan kita Muhammad sholallahu ‘alaihi wassalam.Wahai Dzat yang tidak berawal dan tidak ada ujungnya, Saya berpegangan kepada Mu dari kejahatan jin dan manusia dengan sebab rahasia bacaan pedang maka kabulkanlah do’aku wahai penolong orang orang yang pecah tolonglah Saya 3 x. Wahai Dzat yang tidak ada yang menyerupainya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan wahai Dzat sebaik baik yang dipasrahi dan sebaik baik penolong dengan Rahmat Mu wahai Dzat yang paling Penyayang. Dan Rahmat Allah semoga dilimpahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya dan dilimpahkan keselamatan. Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Dalam kitab Kanzil Ma’ani diriwayatkan bahwa Syekh Abdul Qodir pada waktu pertama kali beliau menerima pangkat kewaliannya, beliau diliputi dengan sifat Jalaliyah Alloh, yakni sifat Keperkasaan-Kesaktian. Oleh karena itu namanya menjadi sangat sakti. Kesaktiannya telah terbukti bagi orang yang menyebut nama Syekh Abdul Qodir dengan bersikap secara tidak sopan, menyebut nama beliau dengan tidak punya wudhu, akan putus lehernya.

Pada waktu berjumpa dengan Rosululloh Saw, Rosul berpesan: “Wahai Abdul Qodir, sikap perilakumu itu jangan kau lakukan lagi, banyak yang menyebut nama Alloh dan namaku, mereka tidak bersifat sopan”.
Setelah menerima amanat beliau, saat itu juga sikap perbuatan itu beliau tinggalkan.

Banyak ulama Baghdad yang menghadap Syekh Abdul Qodir, mereka mengharapkan agar beliau melepaskan sikap perbuatan itu, mengingat banyak yang menjadi korban, dan merasa iba terhadap mereka. Syekh Abdul Qodir berkata :”Sesungguhnya hal ini bukanlah keinginan saya, saya menerima sabda dari Alloh yang isinya: “Kamu sudah mengagungkan nama-Ku, namamu juga ku agungkan”.

Para alim ulama mengemukakan yang menjadi sebab nama Syekh Abdul Qodir itu sangat sakti karena beliau selalu membaca Saefi Hizbul Yaman karangan Sayyidina Ali Karromallohu Wajhah.

Setiap hari Syeikh Abdul Qodir melaksanakan sholat sunnat seribu rokaat banyaknya, yang di baca surat Muzammil, Surat Rohman. Bila membaca surat Al-lkhlas sekurang-kurangnya dibaca seratus kali. Setiap melaksanakan sholat fardu diakhiri dengan khatam al-Qur’an. Tiap malam beliau membaca Asma Arbainiyyah enam ratus kali banyaknya, demikian pula pada siang harinya. Seusai sholat Duha, sholat Asar, dan ba’da sholat Tahajud beliau membaea doa Saefi, lalu beliau membaca Sholawat Kubro, Asmaul Husna. Asmaun Nabawi, dan setiap bacaan sebanyak seribu kali.

  اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان
alloohhummansyur ‘alaihhi rohmataw waridlwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Jumat, 11 Agustus 2017

Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan

Banyak sekali nikmat yang Allah berikan, salah satu diantaranya Adalah nikmat kemerdekaan. Betapa dengan kemerdekaan kita bisa lebih maju, kita bisa melakukan apapun untuk peningkatan kualitas, sarana dan prasarana ibadah kita. Dengan modal kemerdekaan ini kita bisa menjunjung tinggi harkat kemanusiaan, dengan hakikat kemerdekaan juga kita bisa menjunjung tinggi pendidikan. Maka tanggal 17 agustus merupakan hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, pada hari tersebut segenap komponen bangsa merayakan kemenangan dan kemerdekaan setelah sekian ratus lamanya hidup dibawah bayang-bayang intimidasi dan kedzaliman para penjajah. Sangat wajar, jika kemenangan ini disambut dengan luapan kegembiraan yang gegap gempita, seraya mengumandangkan kalimat tahmid, memuji dan mensyukuri karunia Allah yang terbesar bagi bangsa ini.

Bagi umat Islam, anugerah kemerdekaan ini selayaknya dijadikan momentum untuk mengasah rasa syukur kita kepada Allah swt, momentum untuk membangun dan menghidupkan rasa syukur kita kepada Allah swt dengan tentunya mengkonsumsi dan mendayagunakan semua nikmat tersebtut kearah tujuan penciptaan manusia, sesuai dengan definisi syukur yang didefinisikan oleh para Ulama “ As Syukru huwa sorful abdijamii’a ma amanallaahu ilaa maa khuliqo liajrihi “ syukur merupakan segala bentuk aktivitas seorang hamba dalam rangka mendayagunakan semua nikmat yang Allah berikan kepadanya menuju tujuan manusia itu diciptakan yaitu beribadah kepada Allah swt “

Umat Islam, juga seluruh umat manusia lainnya, masing-masing memiliki hak untuk hidup yang wajar. Sebagai implementasi dari nilai-nilai utama tadi, mereka seyogianya mendapat keleluasaan dalam mencari ilmu, beribadah, mengekspresikan pikiran, berkarya, dan sejenisnya. Jaminan tersebut wajib ada selama dilaksanakan dalam kerangka kemasyarakatan yang bertanggung jawab. Apabila kebebasan tersebut dirampas secara zalim maka sangatlah wajar sebuah perlawanan dan pembelaan kemudian mengemuka.

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ. الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ

Artinya: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (Yang teraniaya itu adalah) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata "Tuhan kami hanyalah Allah".

Jika kita perhatikan secara seksama, Surat Al-Hajj ayat 39-40 ini menegaskan bahwa tiap orang memiliki hak atas kampung halaman, rumah, tempat tinggal, tanah air yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut diyârihim(berasal dari kata dâr, rumah). Sebab itu, tatkala mereka diusir atau dirampas hak-haknya, Allah memberi kewenangan mereka untuk membela diri. Mengapa demikian? Karena kampung halaman atau tanah air adalah tempat berpijak untuk melaksanakan kehidupan secara wajar dan aman sebagai manusia yang dimuliakan di buka bumi. Tanah air adalah tempat untuk mencari nafkah, makan, berkeluarga, menunaikan kewajiban agama, bermasyarakat, mengembangkan pendidikan, dan seterusnya.

Begitu pula yang diteladankan Rasulullah. Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam bersama para sahabat berjuang keras melindungi hak-hak mereka. Mereka berperang bukan semata hanya untuk menyerang. Mereka berperang karena sedang diserang dan melawan kezaliman kaum Musyrik Quraisy yang merenggut kebebasan kaum Muslim dalam bertauhid dan hidup tanpa gangguan siapa pun. Artinya, umat Islam berperang justru karena tak menginginkan perang itu terjadi sama sekali di muka bumi.

Semangat serupa juga dikobarkan para ulama-ulama kita era pra-kemerdekaan Indonesia. Selama proses penjajahan Jepang dan Belanda, penduduk pribumi tak aman dan tak nyaman di tanah air sendiri. Mereka tersingkir dari kehidupan yang layak: susah belajar, susah makan, susah bekerja, dan susah beribadah. Berbagai kekejaman dan kezaliman inilah mendorong para ulama bersama umat Muslim, dan para pahlawan lain untuk mengusir kaum kolonial. Kalau kita pernah mendengar “Resolusi Jihad” maka itu adalah salah satu cerminan nyata dari semangat tersebut. Resolusi Jihad adalah deklarasi perang kemerdekaan sebagai “jihad suci” yang digelorakan para kiai di Indonesia pada 22 Oktober 1945 guna menghadang pasukan Inggris (NICA) yang hendak menjajah Indonesia. Berkat perjuangan yang gigih, gelora keislaman yang tinggi, serta riyadlah dan doa para ulama, serangan NICA dapat digagalkan dan bangsa Indonesia tetap merdeka hingga kini sejak Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Sebagian ulama tersebut bahkan tak hanya memimpin perlawanan, tapi juga aktif bergerilya, menyusun strategi, bahkan perang fisik secara langsung dengan pasukan musuh. Umat Islam sadar bahwa membela tanah air dari penindasan adalah bagian dari perjuangan Islam, yang nilai maslahatnya akan dirasakan oleh jutaan orang. Terlebih saat Resolusi Jihad dikumandangkan, Indonesia adalah negara yang baru dua bulan berdiri.

Para ulama dan cendekia Muslim sadar betul, bahwa sebagai makhluk sosial kehadiran negara merupakan sebuah keniscayaan, baik secara syar’i maupun ‘aqli, karena banyak ajaran syariat yang tak mungkin dilaksanakan tanpa kehadiran negara. Oleh karena itu, al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihyâ’ ‘Ulûmid Dîn mengatakan:

المُلْكُ وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ

“Kekuasaan (negara) dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama adalah landasan, sedangkan kekuasaan adalah pemelihara. Sesuatu tanpa landasan akan roboh. Sedangkan sesuatu tanpa pemelihara akan lenyap.”

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kini kita diami adalah hasil kesepakatan bangsa (mu’ahadah wathaniyyah), dengan Pancasila sebagai dasar negara. Ia dibangun atas janji bersama, termasuk di dalamnya mayoritas umat Islam. Bahkan, sebagian perumus Pancasila adalah para tokoh dan ulama Muslim. Karena itu, sebagai penganut agama yang sangat menghormati janji, seluruh umat Islam wajib mentaati dasar tersebut, apalagi tak nilai-nilai di dalamnya selaras dengan substansi ajaran Islam. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:

المُسْلِمُوْنَ عَلىَ شُرُوْطِهِمْ


Artinya: “Kaum Muslimin itu berdasar pada syarat-syarat (kesepakatan) mereka.” (HR Al-Baihaqi dari Abi Hurairah)

Indonesia memang bukan Negara Islam (dawlah Islamiyyah), akan tetapi sah menurut pandangan Islam. Demikian pula Pancasila sebagai dasar negara, walaupun bukan selevel syari’at/agama, namun ia tidak bertentangan, bahkan selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Sebagai konsekuensi sahnya NKRI, maka segenap elemen bangsa wajib mempertahankan dan membela kedaulatannya. Pemerintah dan rakyat memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Kewajiban utama pemerintah ialah mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya secara berkeadilan dan berketuhanan. Sedangkan kewajiban rakyat ialah taat kepada pemimpin sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Kita patut bersyukur bahwa negara kita, Indonesia, cukup aman dibanding sebagian negara di belahan lain dunia. Umat Islam di sini dapat menjalankan ibadah dan menuntut ilmu agama dengan tenang kendatipun berbeda-beda madzhab dan kelompok. Kita juga relatif bebas dari kekangan di Tanah Air dalam menjalankan hidup sehari-hari. Udara kemerdekaan ini adalah karunia besar dari Allahsubhanahu wata’ala. Jangan sampai kita baru merasakan kenikmatan luar biasa ini setelah rudal-rudal berjatuhan di sekeliling kita, tank-tank perang berseliweran, tempat ibadah hancur karena bom, atau konflik berdarah antara-saudara sesama bangsa.Na’ûdzubillâhi min dzâlik.

Mari kita syukuri kemerdekaan ini dengan hamdalah, sujud syukur, dan mengisinya dengan kegiatan-kegiatan positif. Kita mungkin tak lagi sedang berperang secara fisik sebagaimana ulama-ulama dan pahlawan kita terdahulu, tapi kita masih punya cukup banyak masalah kemiskinan, kebodohan, korupsi, kekerasan, narkoba, dan lain-lain yang juga wajib kita perangi.

Al-Hafiz Ibnu Asakir di dalam auto biografi Abur Rabi' Ad-Dimasyqi telah meriwayatkan dari Mak-hul, bahwaNabi Saw. pernah bersabda:

«يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ قَدْ أَنْعَمْتُ عَلَيْكَ نِعَمًا عِظَامًا لَا تُحْصِي عَدَدَهَا وَلَا تُطِيقُ شُكْرَهَا، وَإِنَّ مِمَّا أَنْعَمْتُ عَلَيْكَ أَنْ جَعَلْتُ لَكَ عَيْنَيْنِ تَنْظُرُ بِهِمَا وَجَعَلْتُ لَهُمَا غِطَاءً، فَانْظُرْ بِعَيْنَيْكَ إِلَى مَا أَحْلَلْتُ لَكَ، وَإِنْ رَأَيْتَ مَا حَرَّمْتُ عَلَيْكَ فَأَطْبِقْ عَلَيْهِمَا غِطَاءَهُمَا، وَجَعَلْتُ لَكَ لِسَانًا وَجَعَلْتُ لَهُ غُلَافًا فَانْطِقْ بِمَا أَمَرْتُكَ وَأَحْلَلْتُ لك، فإن عرض عليك مَا حَرَّمْتُ عَلَيْكَ فَأَغْلِقْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ. وَجَعَلْتُ لَكَ فَرْجًا وَجَعَلْتُ لَكَ سِتْرًا، فَأَصِبْ بِفَرْجِكَ ما أحللت لك، فإن عرض عليك ما حرمت عليك فأرخ عليك سترك، ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَا تَحْمِلُ سُخْطِي وَلَا تطيق انتقامي»

Allah SWT. berfirman, "Hai anak Adam, Aku telah memberikan nikmat-nikmat yang besar kepadamu, yang tidak dapat kamu hitung bilangannya, dan kamu tidak akan mampu mensyukurinya. Dan sesungguhnya di antara nikmat yang Aku berikan kepadamu ialah Aku jadikan bagimu dua buah mata yang dengan keduanya kamu dapat melihat, dan Aku jadikan bagi keduanya kelopak. Maka gunakanlah keduanya untuk memandang apa yang telah Kuhalalkan bagimu, dan jika kamu melihat apa yang telah Kuharamkan bagimu, maka katupkanlah kedua kelopaknya. Dan Aku telah menjadikan bagimu lisan dan Kujadikan pula baginya penutupnya. Maka berbicaralah dengan apa yang telah Kuperintahkan kepadamu dan apa yang telah Kuhalalkan bagimu. Dan jika ditawarkan kepadamu apa yang telah Kuharamkan bagimu, maka tutuplah lisanmu (diamlah). Dan Aku telah menjadikan kemaluan bagimu, dan Aku telah menjadikan pula baginya penutup, maka gunakanlah kemaluanmu terhadap apa yang telah Kuhalalkan bagimu. Dan jika ditawarkan kepadamu apa yang telah Kuharamkan bagimu, maka turunkanlah penutupnya. Hai anak Adam, sesungguhnya Engkau tidak akan mampu menanggung murka-Ku dan tidak akan mampu menahan pembalasan (azab)-Ku.”

Firman Allah Swt:

{وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ}

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10)

Yakni dua jalan. Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Asim, dari Zur, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10) Artinya kebaikan dan keburukan. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Abu Wa-il, Abu Saleh, Muhammad ibnu Ka'b, Ad-Dahhak, Ala Al-Khurrasani, dan lain-lainnya.

Abdullah ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Lahi'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Sinan ibnu Sa'd, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«هُمَا نَجْدَانِ فَمَا جَعَلَ نَجْدَ الشَّرِّ أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنْ نَجْدِ الْخَيْرِ»

Keduanya adalah dua jalan, lalu apakah yang menyebabkan jalan keburukan lebih disukai olehmu daripada jalan kebaikan?

Sinan Ibnu Sa'd meriwayatkan hadis ini secara tunggal, dan dikatakan pula bahwa dia adalah Sa'd ibnu Sinan, dinilai siqah oleh Ibnu Mu'in. Imam Ahmad, Imam Nasai, dan Al-Juzjani mengatakan bahwa hadisnya tidak dapat diterima. Imam Ahmad mengatakan bahwa ia meninggalkan hadisnya karena hadisnya idtirab. Dan dia telah meriwayatkan lima belas hadis yang semuanya berpredikat munkar. Imam Ahmad mengatakan bahwa ia tidak mengenal suatu hadis pun dari hadisnya yang menyerupai dengan hadis Al-Hasan Al-Basri dan tidak pula menyerupai hadis Anas ibnu Malik

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aliyyah, dari Abu Raja yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Hasan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami telah menujukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10) Telah diceritakan kepada kami bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُمَا النَّجْدَانِ نَجْدُ الْخَيْرِ وَنَجْدُ الشَّرِّ، فَمَا جَعَلَ نَجْدَ الشَّرِّ أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنْ نَجْدِ الْخَيْرِ»

Hai manusia, sesungguhnya keduanya adalah dua jalan, yaitu jalan kebaikan dan jalan keburukan, maka apakah yang membuat jalan keburukan lebih disukai olehmu daripada jalan kebaikan?

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Habib ibnusy Syahid, Ma'mar, Yunus ibnu Ubaid dan Abu Wahb, dari Al-Hasan secara mursal. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Qatadah secara mursal.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu lsam Al-Ansari, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Affan, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Allah Swt: Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10) Yakni kedua Puting susu.

Telah diriwayatkan pula dari Ar-Rabi' ibnu Khaisam, Qatadah, dan Abu Hazim hal yang semisal. Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Abu Kuraib, dari Waki, dari Isa ibnu Aqqal dengan sanad yang sama. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang benar adalah pendapat yang pertama. Hal ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:

إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْناهُ سَمِيعاً بَصِيراً إِنَّا هَدَيْناهُ السَّبِيلَ إِمَّا شاكِراً وَإِمَّا كَفُوراً

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (Al-Insan: 2-3)

Firman-Nya

إِنَّا خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ}

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur. (Al-Insan: 2)

Yakni yang bercampur baur. Al-masyju dan al-masyijartinya sesuatu yang sebagian darinya bercampur baur dengan sebagian yang lain.

Ibnu Abbas r.a. telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dari setetes mani yang bercampur. (Al-Insan: 2) Yaitu air mani laki-laki dan air mani perempuan apabila bertemu dan bercampur, kemudian tahap demi tahap berubah dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain dan dari suatu bentuk ke bentuk yang lain.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah, Mujahid, Al-Hasan, dan Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa al-amsyajartinya bercampurnya air mani laki-laki dan air mani perempuan.

Firman Allah Swt:

{نَبْتَلِيهِ}

yang Kami hendak mengujinya. (Al-Insan: 2)

Maksudnya, Kami hendak mencobanya. Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (Al-Mulk: 2)

Adapun firman Allah Swt.:

{فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا}

karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.(Al-Insan: 2)

Yakni Kami menjadikan untuknya pendengaran dan penglihatan sebagai sarana baginya untuk melakukan ketaatan atau kedurhakaan.

Firman Allah Swt.:

{إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ}

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. (Al-Insan: 3)

Yaitu Kami terangkan kepadanya, dan Kami jelaskan kepadanya dan Kami jadikan dia dapat melihatnya. Semakna dengan yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْناهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمى عَلَى الْهُدى

Dan adapun kaum Samud, maka mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk itu. (Fushshilat: 17)

Dan firman-Nya:

وَهَدَيْناهُ النَّجْدَيْنِ

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10)

Yakni Kami terangkan kepadanya jalan kebaikan dan jalan keburukan. Ini menurut pendapat Ikrimah, Atiyyah, Ibnu Zaid, dan Mujahid menurut riwayat yang terkenal darinya dan Jumhur ulama.

Dan menurut riwayat yang bersumber dari Mujahid, AbuSaleh, Ad-Dahhak,.dan As-Saddi, mereka mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. (Al-Insan: 3) Yaitu keluarnya manusia dari rahim. Tetapi pendapat ini garib (aneh), dan menurut pendapat yang terkenal adalah yang pertama tadi.

Firman Allah Swt:

{إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا}

ada yang bersyukur dan adapula yang kafir. (Al-Insan: 3)

Kedua lafaz ini di-nasab-kan sebagai keterangan keadaan dari damir hu yang terdapat di dalam firman-Nya:

{إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ}

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. (Al-Insan: 3)

Bentuk lengkapnya ialah 'maka dia dalam hal ini ada yang celaka dan ada yang berbahagia', yakni celaka karena dia kafir dan bahagia karena dia bersyukur.

Hal yang semisal disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Malik Al-Asy'ari yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«كل النَّاسِ يَغْدُو فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمَوْبِقُهَا أَوْ مُعْتِقُهَا»

Semua orang akan pergi, maka apakah dia menjual dirinya yang berarti membinasakannya ataukah memerdekakannya?

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا مَعْمَر، عَنِ ابْنِ خُثَيم، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ، عَنْ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِكَعْبِ بْنِ عُجرَة: "أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ". قَالَ: وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ؟ قَالَ: "أُمَرَاءٌ يَكُونُونَ مِنْ بَعْدِي، لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يستَنّونَ بِسُنَّتِي، فَمَنْ صَدّقهم بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ، وَلَا يَردُون عَلَى حَوْضِي. وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنهم عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ، وَسَيَرِدُونَ عَلَى حَوْضِي. يَا كَعْبَ بْنَ عُجرَة، الصَّوْمُ جَنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ، وَالصَّلَاةُ قُرْبَانٌ -أَوْ قَالَ: بُرْهَانٌ-يَا كعبَ بنَ عجرَة، إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْت، النَّارُ أَوْلَى بِهِ. يَا كَعْبُ، النَّاسُ غَاديان، فمبتاعُ نفسَه فَمُعْتِقُهَا، وَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمَوْبِقُهَا".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dan Ibnu Khaisam, dari Abdur Rahman ibnu Sabit, dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Nabi Saw. bersabda kepada Ka'b ibnu Ujrah: Semoga Allah melindungimu dari kekuasaan orang-orang yang kurang akalnya. Ka'b ibnu Ujrah bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan kekuasaan orang-orang yang kurang akalnya?" Rasulullah Saw. menjawab: (Yaitu) para penguasa yang berada sesudahku, mereka tidak memakai petunjuk dengan petunjukku, dan tidak memakai tuntunan dengan tuntunanku. Maka barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka dan membantu perbuatan aniaya mereka, orang tersebut bukan termasuk golonganku, dan aku bukan termasuk golongan mereka, dan mereka tidak akan dapat mendatangi telagaku. Dan barang siapa yang tidak membenarkan kedustaan mereka dan tidak membantu perbuatan aniaya mereka, maka dia termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya, dan mereka akan mendatangi telagaku. Hai Ka'b ibnu Ujrah, puasa adalah benteng, sedangkan sedekah dapat menghapuskan kesalahan (dosa), dan salat adalah amal pendekatan diri —atau bukti—. Hai Ka'b ibnu Ujrah, sesungguhnya tidak dapat masuk surga daging yang ditumbuhkan dari makanan yang haram, dan nerakalah yang lebih layak baginya. Hai Ka'b, manusia itu ada dua macam; maka ada yang membeli dirinya yang berarti memerdekakannya, dan ada yang menjual dirinya yang berarti membinasakannya.

Affan telah meriwayatkan hadis ini dari Wahib, dari Abdullah ibnu Usman ibnu Khaisam dengan sanad yang sama.

Dalam surat Ar-Rum telah disebutkan pada tafsir firman-Nya:

{فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا}

(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. (Ar-Rum: 30)

melalui riwayat Jabir ibnu Abdullah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ حَتَّى يُعْرِبَ عَنْهُ لِسَانُهُ فَإِذَا أَعْرَبَ عَنْهُ لِسَانُهُ فَإِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا»

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah hingga lisannya dapat berbicara; adakalanya dia bersyukur dan adakalanya dia pengingkar.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنِ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيرة، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ خَارِجٍ يَخْرُجُ إِلَّا بِبَابِهِ رَايَتَانِ: رايةٌ بِيَدِ مَلَك، وَرَايَةٌ بِيَدِ شَيطان، فَإِنْ خَرَجَ لِمَا يُحِبّ اللهُ اتبعَه المَلَك بِرَايَتِهِ، فَلَمْ يَزَلْ تَحْتَ رَايَةِ الْمَلَكِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ. وَإِنْ خَرَجَ لِمَا يُسخط اللَّهَ اتَّبَعَهُ الشَّيْطَانُ بِرَايَتِهِ، فَلَمْ يَزَلْ تَحْتَ رَايَةِ الشَّيْطَانِ، حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, dari Usman ibnu Muhammad, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a.,' dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Tiada seorang pun yang keluar melainkan pada pintu rumahnya ada dua bendera; satu bendera di tangan malaikat dan satu bendera lainnya di tangan setan. Maka jika dia keluar untuk mengerjakan hal yang disukai oleh Allah, ia diikuti oleh malaikat dengan benderanya, dan ia terus-menerus berada di bawah bendera malaikat sampai pulang ke rumahnya. Dan jika ia keluar untuk melakukan hal yang dimurkai oleh Allah, setanlah yang mengikutinya dengan benderanya, dan ia terus-menerus berada di bawah bendera setan sampai pulang ke rumahnya.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Upacara Hari Kemerdekaan

Para Ulama dan para pendahulu bangsa telah banyak yang gugur sebagai Syahid. Kemenangan dan selamatnya bangsa dari penjajahan abadi adalah nikmat besar, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Khatib al-Syirbini al-Syafii:

حُدُوْثُ ” نِعْمَةٍ ” كَحُدُوْثِ وَلَدٍ أَوْ جَاهٍ أَوْ مَالٍ أَوْ قُدُوْمِ غَائِبٍ أَوْ نَصْرٍ عَلَى عَدُوٍّ ” أَوِ انْدِفَاعِ نِقْمَةٍ ” كَنَجَاةٍ مِنْ حَرِيْقٍ أَوْ غَرَقٍ (مغني المحتاج – ج 1 / ص 214)

“Nikmat yang baru datang adalah seperti lahirnya anak, naik jabatan, harta, datangnya saudara, pertolongan dari musuh. Juga selamat dari siksa, seperti selamat dari terbakar dan tenggelam” (Mughni al-Muhtaj 1/214)

Maka sudah menjadi kesepakatan bersama bagi umat Islam bahwa peringatan (Sambutan) Hari Kemerdekaan adalah boleh. Peringatan ini masuk dalam firman Allah:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ [الذاريات/55]

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfa`at bagi orang-orang yang beriman.” (al-Dzariyat: 55)

Makna ayat ini dijelaskan oleh ahli Tafsir, Syaikh Fakhruddin al-Razi:

يَحْتَمِلُ وُجُوْهاً : أَحَدُهَا : أَنْ يُرَادَ قُوَّةُ يَقِيْنِهِمْ كَمَا قَالَ تَعَالَى : لِيَزْدَادُوْاْ إِيْمَانًا [ الفتح : 4 ]  …ثَانِيْهَا : تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ بَعْدَكَ (تفسير الرازي – ج 14 / ص 326)

“Makna ayat ini meliputi beberapa makna. Pertama, maksudnya adalah bertambahnya keyakinan mereka, seperti firman Allah yang artinya: “supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)” [al-Fath: 4]. Yang kedua: Peringatan bermanfaat bagi orang-orang setelah kamu” (Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib 14/326)

Berdasarkan analisa al-Razi ini jika kita kontekstualisasikan dalam peringatan kemerdekaan saat ini adalah (1) menambah keimanan kita dalam hidup berbangsa, dan (2) memberi pendidikan sejarah kepada generasi bangsa yang akan datang, bahwa negara telah mendapat nikmat berupa kemerdekaan.

Fatwa Ulama al-Azhar Tentang “Peringatan”

Hukum sebuah perayaan yang disebut dengan Ihtifal (peringatan / sambutan) hukumnya adalah boleh seperti yang difatwakan oleh para ulama al-Azhar, Mesir:

وَالْاِحْتِفَالُ بِهَذِهِ الْأَعْيَادِ مَعْنَاهُ الْاِهْتِمَامُ بِهَا ، وَالْمُنَاسَبَاتُ الَّتِى يُحْتَفَلُ بِهَا قَدْ تَكُوْنَ دُنْيَوِيَّةً مَحْضَةً وَقَدْ تَكُوْنُ دِيْنِيَةً أَوْ عَلَيْهَا مَسْحَةٌ دِيْنِيَّةٌ، وَالْإِسْلَامُ بِالنِّسْبَةِ إِلَى مَا هُوَ دُنْيَوِىٌّ لَا يَمْنَعُ مِنْهُ مَا دَامَ الْقَصْدُ طَيِّبًا ، وَالْمَظَاهِرُ فِى حُدُوْدِ الْمَشْرُوْعِ ، وَبِالنِّسْبَةِ إِلَى مَا هُوَ دِيْنِىٌّ قَدْ يَكُوْنُ الْاِحْتِفَالُ مَنْصُوْصًا عَلَيْهِ كَعِيْدَىِ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى، وَقَدْ يَكُوْنُ غَيْرَ مَنْصُوْصٍ عَلَيْهِ كَالْهِجْرَةِ وَالْإِسْرَاءِ وَالْمِعْرَاجِ وَالْمَوْلِدِ النًّبَوِى ، فَمَا كَانَ مَنْصُوْصًا عَلَيْهِ فَهُوَ مَشْرُوْعٌ بِشَرْطِ أَنْ يُؤَدَّى عَلَى الْوَجْهِ الَّذِى شُرِعَ ، وَلَا يَخْرُجَ عَنْ حُدُوْدِ الدِّيْنِ ، وَمَا لَمْ يَكُنْ مَنْصُوْصًا عَلَيْهِ ، فَلِلنَّاسِ فِيْهِ مَوْقِفَانِ ، مَوْقِفُ الْمَنْعِ لِأَنَّهُ بِدْعَةٌ ، وَمَوْقِفُ الْجَوَازِ لِعَدَمِ النَّصِّ عَلَى مَنْعِهِ

فَالْخُلَاصَةُ أَنَّ الْاِحْتِفَالَ بِأَيَّةِ مُنَاسَبَةٍ طَيِّبَةٍ لَا بَأْسَ بِهِ مَا دَامَ الْغَرَضُ مَشْرُوْعًا وَالْأُسْلُوْبُ فِى حُدُوْدِ الدِّيْنِ ، وَلَا ضَيْرَ فِى تَسْمِيَةِ الْاِحْتِفَالاتِ بِالْأَعْيَادِ ، فَالْعِبْرَةُ بِالْمُسَمَّيَاتِ لَا بِالْأَسْمَاءِ (فتاوى الأزهر – ج 10 / ص 160)

“Peringatan dengan hari-hari perayaan maknanya adalah mementingkan hari-hari tersebut. Kegiatan yang dilakukan perayaan ada kalanya murni agama, ada kalanya murni duniawi dan ada kalanya bersifat agama yang ada sentuhan duniawi. (Sikap) Islam terhadap hal yang bersifat duniawi adalah tidak melarang, selama tujuannya baik, pelaksanaannya juga dalam batas-batas syariat. Dan sikap Islam terhadap hal yang bersiafat agama, maka peringatan tersebut ada kalanya (1) memiliki nash dalam agama seperti Idul Fitri dan Idul Adlha, dan (2) tidak ada nash dalam agama, seperti hijrah Nabi, Isra’-Mi’raj, dan Maulid Nabi. Peringatan yang memiliki nash hukumnya adalah disyariatkan dengan syarat melaksanakannya sesuai syariat dan tidak keluar dari batas-batas agama. Sedangkan peringatan yang tidak ada nash, maka ulama ada 2 pendapat, yaitu kelompok yang melarang karena menilainya bid’ah dan kelompok yang mengatakan boleh, karena tidak ada dalil yang melarangnya.

Kesimpulannya bahwa peringatan dengan apa pun bentuknya yang baik adalah boleh, selama tujuannya dibenarkan oleh agama dan pelaksanaannya berada dalam batas-batas agama. Tidak ada pengaruh dalam penamaan  peringatan dengan Hari Raya. Karena yang dinilai adalah konten isi, bukan nama” (Fatawa al-Azhar 10/160)

Bahkan peringatan yang berkaitan dengan Sungai Nil di Mesir hukumnya tidak dilarang:

إِنَّ الْاِحْتِفَالَ بِوَفَاءِ النِّيْلِ يَجِبُ أَنْ يَكُوْنَ احْتِفَالًا بِنِعْمَةٍ مِنْ أَكْبَرِ نِعَمِ اللهِ عَلَى مِصْرَ، وَذَلِكَ بِشُكْرِهِ سُبْحَانَهُ وَحُسْنِ اسْتِخْدَامِ هَذِهِ الْمِيَاهِ فِى خَيْرِ النَّاسِ ، وَالْبُعْدِ عَنْ تَلْوِيْثِهَا وَالْإِسْرَافِ فِيْهَا (فتاوى الأزهر – ج 10 / ص 371)

“Perayaan Sungai Nil wajib dijadikan sebagai perayaan atas bentuk nikmat terbesar dari Allah bagi bangsa Mesir. Caranya adalah dengan bersyukur kepada Allah, menggunakan air tersbut untuk kebaikan bersama, tidak mengotorinya dan tidak berlebihan dalam penggunaannya” (Fatawa al-Azhar 10/371)

Peringatan Kemerdekaan Setiap Tahun

Mengapa kami memperingati kemerdekaan setiap tahun? Saya kutipkan metode istidlal ahli hadis al-Hafidz Ibnu Hajar al-Syafii tentang bolehnya mengamalkan amaliah Maulid setiap tahun sebagai nikmat dan anugerah lahirnya seorang Nabi Muhammad Saw.

Berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim berikut ini:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ فَوَجَدَ الْيَهُوْدَ يَصُوْمُوْنَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَسَأَلَهُمْ ؟ فَقَالُوْا هُوَ يَوْمٌ أَغْرَقَ اللهُ فِيْهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَى مُوْسَى فَنَحْنُ نَصُوْمُهُ شُكْرًا للهِ تَعَالَى

“Ketika Rasulullah Saw datang ke Madinah, beliau menjumpai kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura’ (10 Muharram), kemudian Nabi menanyakan kepada mereka? Mereka menjawab: Asyura’ adalah hari dimana Allah menenggelamkan Firaun dan menyelamatkan Musa. Maka kami berpuasa pada hari Asyura’ sebagai bentuk syukur kepada Allah”

al-Hafidz Ibnu Hajar al-Syafii berkata:

فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ فِعْلُ الشُّكْرِ للهِ عَلَى مَا مَنَّ بِهِ فِي يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إِسْدَاءِ نِعْمَةٍ أَوْ دَفْعِ نِقْمَةٍ وَيُعَادُ ذَلِكَ فِي نَظِيْرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ كُلِّ سَنَةٍ وَالشُّكْرُ لِلهِ يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ الْعِبَادَةِ كَالسُّجُوْدِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالتِّلَاوَةِ (الحاوي للفتاوي للسيوطي – ج 1 / ص 282)

“Dari hadis ini bisa diambil satu faidah diperbolehkannya melakukan syukur kepada Allah atas anugerah dari-Nya di hari tertentu, baik mendapatkan nikmat atau terlepas dari musibah, dan hal tersebut bisa dilakukan secara berulang kali setiap tahun. Bersyukur kepada Allah dapat diwujudkan dengan berbagai ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah dan membaca al Quran.” (al-Hawi li al-Fatawi, al-Hafidz al-Suyuthi, 1/282)

Dengan demikian, berdasarkan istidlal ini dan diperkuat bahwa kemerdekaan adalah nikmat yang agung, maka boleh bagi sebuah negara untuk merayakan hari kemerdekaannya setiap tahun.

Upacara Bendera

Mengenai upacara bendera, kita lihat dahulu posisi bendera di masa Nabi Muhammad Saw:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَايَةَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تَكُوْنُ مَعَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، وَرَايَةُ الْأَنْصَارِ مَعَ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ وَكَانَ إِذَا اسْتَحَرَّ الْقِتَالُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا يَكُوْنُ تَحْتَ رَايَةِ الْأَنْصَارِ. )رواه أحمد ورجاله رجال الصحيح غير عثمان بن زفر الشامي وهو ثقة. مجمع الزوائد ومنبع الفوائد . محقق – ج 5 / ص 386)

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa bendera Nabi Saw bersama Ali bin Abi Thalib dan bendera Ansor bersama Sa’d bin Ubadah. Jika perang telah memanas maka Nabi termasuk orang yang berada di bawah bendera Ansor” (HR Ahmad, perawinya adalah perawi hadis sahih, selain Utsman bin Zufar al-Syami, ia perawi terpercaya)

Dalam hadis ini sudah jelas Nabi membenarkan posisi bendera berada diatas. Terbukti Nabi berada di bawah bendera Ansor.

Para Sahabat Wafat Demi Bendera

Jika umat Islam saat ini sekedar hormat dengan tangan ke bendera, ternyata para sahabat Nabi membela mati-matian mempertahankan kehormatan Islam dengan simbol bendera, bahkan Nabi tidak menyalahkan sedikitpun:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- جَيْشاً اسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ وَقَالَ « فَإِنْ قُتِلَ زَيْدٌ أَوِ اسْتُشْهِدَ فَأَمِيرُكُمْ جَعْفَرٌ فَإِنْ قُتِلَ أَوِ اسْتُشْهِدَ فَأَمِيرُكُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ ». فَلَقُوا الْعَدُوَّ فَأَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ جَعْفَرٌ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ فَفَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَتَى خَبَرُهُمُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَخَرَجَ إِلَى النَّاسِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ « إِنَّ إِخْوَانَكُمْ لَقُوا الْعَدُوَّ وَإِنَّ زَيْداً أَخَذَ الرَّايَةَ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ أَوِ اسْتُشْهِدَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ بَعْدَهُ جَعْفَرُ بْنُ أَبِى طَالِبٍ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ أَوِ اسْتُشْهِدَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ أَوِ اسْتُشْهِدَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ فَفَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ (رواه أحمد والطبراني ورجالهما رجال الصحيح. مجمع الزوائد ومنبع الفوائد . محقق – ج 6 / ص 151)

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far, ia berkata: Rasulullah mengutus pasukan (dalam perang Mu’tah) dan menjadikan Zaid bin Haritsah sebagai panglima. Nabi bersabda: Jika Zaid terbunuh atau mati syahid, maka pimpinan kalian adalah Ja’far. Jika Ja’far terbunuh atau mati syahid maka pemimpin kalian adalah Abdullah bin Rawahah”. Lalu umat Islam berjumpa dengan musuh, Zaid mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, kemudian Ja’far mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, lalu Abdullah bin Rawahah mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, kemudian Khalid bin Walid mengambilnya dan Allah memberi kemenangan. Berita ini sampai kepada Nabi, lalu beliau menemui para sahabat dan berkhutbah: Sungguh saudara-saudara kalian berjumpa dengan musuh, Zaid mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, kemudian Ja’far mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, lalu Abdullah bin Rawahah mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, kemudian salah satu pedang Allah, Khalid bin Walid mengambilnya dan Allah memberi kemenangan.” (HR Ahmad dan al-Thabrani, perawinya adalah perawi hadis sahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari)

Mengenai tujuan dan fungsi bendera, disampaikan oleh Ibnu Khaldun berikut ini:

وَأَمَّا تَكْثِيْرُ الرَّايَاتِ وَتَلْوِيْنُهَا وَإِطَالَتُهَا فَالْقَصْدُ بِهِ التَّهْوِيْلُ لَا أَكْثَرُ وَرُبَّمَا يَحْدُثُ فِي النُّفُوْسِ مِنَ التَّهْوِيْلِ زِيَادَةٌ فِي اْلإِقْدَامِ، وَأَحْوَالُ النُّفُوُسِ وَتَلَوُّنَاتُهَا غَرِيْبَةٌ. وَاللهُ الْخَلَّاقُ الْعَلِيْمُ. ثُمَّ إِنَّ الْمُلُوْكَ وَالدُّوَلَ يَخْتَلِفُوْنَ فِي اتِّخَاذِ هَذِهِ الشَّارَاتِ، فَمِنْهُمْ مُكَثِّرٌ وَمِنْهُمْ مُقِلٌّل بِحَسَبِ اتِّسَاعِ الدَّوْلَةِ وَعِظَمِهَا. فَأَمَّا الرَّايَاتُ فَإِنَّهَا شِعَارُ الْحُرُوْبِ مِنْ عَهْدِ الْخَلِيْقَةِ، وَلَمْ تَزَلِ الْأُمَمُ تَعْقِدُهَا فِي مَوَاطِنِ الْحُرُوْبِ وَالْغَزَوَاتِ، لِعَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُ مِنَ الْخُلَفَاءِ. (مقدمة ابن خلدون – ج 1 / ص 138)

“Memperbanyak bendera, mewarnainya dan meninggikannya, tujuannya adalah ‘menggetarkan’, tidak lebih dari itu. Terkadang memang terbersit dalam jiwa untuk lebih maju. Kondisi perasaan hati dan macam-macamnya berbeda-beda. Allah yang maha menciptakan dan maha mengetahui. Kerajaan dan negara berbeda-beda dalam menjadikan simbol ini, ada yang memperbanyak, ada pula yang sedikit, tergantung luas dan besarnya negara tersebut. Bendera adalah syiar dalam perang sejak masa Khalifah. Dan umat Islam terus-menerus menggunakan bendera di tempat-tempat peperangan sejak masa Nabi dan para Khalifah” (Muqaddimah Ibni Khaldun 1/138)

Bendera hanya sebuah simbol negara, kami yang mengangkat tangan berhormat bukan lantaran menyembah bendera. Hormat tangan kami tidak lain adalah bentuk syukur kepada Allah yang telah memerdekakan negara Indonesia, dengan simbol warna merah-putih. juga untuk membangkitkan semangat juang kami agar negara ini tak dijajah lagi, sekaligus menambah cinta tanah air kami, sebagaimana Rasulullah mengajarkan cinta tanah air, Makkah dan Madinah:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ (رواه البخارى)

Rasulullah berdoa: “Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi cinta kepada Makkah” (HR al-Bukhari)

Fatwa Ulama Wahabi dan Sunni Tentang Hormat Bendera

Bagi sebagian ulama Wahabi menghormat bendera adalah bid’ah, sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh Bin Baz melalui Komisi Fatwa Arab Saudi:


مَا حُكْمُ تَحِيَّةِ الْعَلَمِ فِي الْجَيْشِ ؟ لَا تَجُوْزُ تَحِيَّةُ الْعَلَمِ، بَلْ هِيَ بِدْعَةُ مُحْدَثَةٌ (فتاوى اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء – ج 1 / ص 243)

“Apa hukum menghormat benderan dalam pasukan? (Jawab) Tidak boleh menghormat bendera, bahkan hal itu ada bid’ah yang diperbarui” (Fatwa al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’ 1/243)

Ternyata fatwa ini berbeda dengan sesama ulama Wahabi, yaitu Syaikh Ibnu Utsaimin:

أَمَّا تَحِيَّةُ الْعَلَمِ فَلَا نُسَلِّمُ أَنَّهَا شِرْكٌ . تَحِيَّةُ اْلعَلَمِ لَيْسَتْ بِشِرْكٍ هَلْ سَجَدَ لَهُ ؟ هَلْ رَكَعَ لَهُ ؟ هَلْ ذَبَحَ لَهُ ؟ حَتَّى التَّعْظِيْمُ بِالسَّلَامِ هَلْ هُوَ شِرْكٌ ؟ لَيْسَ بِشِرْكٍ (كتب و رسائل للعثيمين – ج 126 / ص 98)

“Menghormat bendera, kami tidak memastikan bahwa hal itu adalah syirik. Menghormat bendera tidaklah syirik. Apakah ia bersujud kepada bendera? Apakah ia rukuk kepada bendera? Apakah ia menyembeli hewan kepada bendera? Hingga mengagungkan dengan salam apakah disebut syirik? Hal itu bukanlah syirik” (Kutub wa Rasail li al-Utsaimin 126/98)

Ulama Sunni yang diwakili oleh Grand Mufti al-Azhar, Syaikh Athiyah Shaqr menjawab masalah ini dengan sangat bagus:

يَقُوْلُ بَعْضُ النَّاسِ : إِنَّ تَحِيَّةَ الْعَلَمِ شِرْكٌ بِاللهِ ، فَلَا يُعَظَّمُ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ ، فَهَلْ هُنَا صَحِيْحٌ ؟ الْجَوَابُ الْعَلَمُ رَمْزٌ لِلْوَطَنِ فِى الْعَصْرِ الْحَدِيْثِ ، وَكَانَ عِنْدَ الْعَرَبِ رَمْزًا لِلْقَبِيْلَةِ وَالْجَمَاعَةِ، يَسِيْرُ خَلْفَهُ وَيُحَافِظُ عَلَيْهِ كُلُّ مَنْ يَنْتَسِبُ إِلَى الْقَبِيْلَةِ أَوِ الْجَمَاعَةِ ، وَكُلَّمَا كَانَ الْعَلَمُ مَرْفُوْعًا دَلَّ عَلَى عِزَّةِ أَهْلِهِ ، وَإِذَا اْنَتَكَسَ دَلَّ عَلَى ذُلِّهِمْ ، وَيُعْرَفُ عِنْدَ الْعَرَبِ بِاسْمِ الرَّايَةِ أَوِ اللِّوَاءِ … فَتَحِيَّةُ الْعَلَمِ باِلنَّشِيْدِ أَوِ الْإِشَارَةِ بِالْيَدِ فِى وَضْعٍ مُعَيَّنٍ إِشْعَارٌ بِالْوَلَاءِ لِلْوَطَنِ وَالْاِلْتِفَافِ حَوْلَ قِيَادَتِهِ وَاْلحِرْصِ عَلَى حِمَايَتِهِ ، وَذَلِكَ لَا يَدْخُلُ فِى مَفْهُوْمِ الْعِبَادَةِ لَهُ ، فَلَيْسَ فِيْهَا صَلَاةٌ وَلَا ذِكْرٌ حَتَّى يُقَالَ : إِنَّهَا بِدْعَةٌ أَوْ تَقَرُّبٌ إِلَى غَيْرِ اللهِ (فتاوى الأزهر – ج 10 / ص 221)

“Sebagian orang berkata bahwa menghormat bendera adalah menyekutukan Allah, karena tidak ada yang diagungkan kecuali Allah. Benarkah pendapat ini? Jawab: Bendera adalah simbol sebuah bangsa di zaman modern ini. Dulu, bagi orang Arab bendera adalah simbol suku dan kelompok. Mereka yang ada dalam suku dan kelompok berjalan di belakang bendera dan menjaganya. Setiap bendera yang ditinggikan, maka menunjukkan kemuliaan pemiliknya. Jika terjatuh, maka menunjukkan kerendahan mereka. Bagi orang Arab, bendera dikenal dengan Rayah atau Liwa’… Maka menghormat bendera dengan lagu dan tangan di tempat tertentu adalah bentuk hormat pada negara, menunjukkan kepatuhan dan keinginan menjaga negara. Hal ini tidak masuk dalam kategori bid’ah, sebab di dalamnya tidak ada salat dan dzikir, hingga disebut bahwa hal itu adalah bid’ah dan ibadah kepada selain Allah” (Fatawa al-Azhar 10/221)

Lagu Kebangsaan

Menyanyikan lagu kebangsaan hukumnya adalah boleh, sebagaimana Fatwa Dr. Ali al-Jumat, Grand Mufti al-Azhar, Mesir:

الْأَغَانِي وَالْمُوْسِيْقِى مِنْهَا مَا هُوَ مُبَاحٌ سَمَاعُهُ وَمِنْهَا مَا هُوَ مُحَرَّمٌ ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْغِنَاءَ كَلَامٌ حَسَنُهُ حَسَنٌ وَقَبِيْحُهُ قَبِيْحٌ. فَالْمُوْسِيْقِى وَالْغِنَاءُ الْمُبَاحُ : مَا كَانَ دِيْنِيًّا أَوْ وَطَنِيُّا أَوْ كَانَ إِظْهَارًا لِلسُّرُوْرِ وَالْفَرَحِ فِي اْلأَعْيَادِ وَالْمُنَاسَبَاتِ ، مَعَ مُرَاعَاةِ عَدَمِ اخْتِلَاطِ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَأَنْ تَكُوْنَ الْأَغَانِي خَالِيَةً مِنَ الْفُحْشِ وَالْفُجُوْرِ وَأَلَّا تَشْمُلَ عَلَى مُحَرَّمٍ كَالْخَمْرِ وَالْخَلَاعَةِ ، وَأَلَّا يَكُوْنَ مُحَرِّكًا لِلْغَرَائِزِ أَوْ مُثَيْرًا لِلشَّهَوَاتِ ، وَأَنْ تَكُوْنَ الْمَعَانِي الَّتِي يَتَضَمَّنُهَا اْلغِنَاءُ عَفِيْفَةً وَشَرِيْفَةً. (فتاوى معاصرة – ج 1 / ص 119)

“Lagu dan musik ada yang boleh didengar dan ada yang haram. Sebab hakikat lagu adalah sebuah perkataan. Jika perkataan itu baik, maka juga baik. Jika perkataan itu buruk, maka buruk pula. Musik dan lagu yang boleh adalah sesuatu yang bersifat agama, kebangsaan atau menampakkan rasa senang dan bahagia di hari raya atau peringatan tertentu, dengan  syarat (1) tetap menjaga dari bercampurnya laki-laki dan perempuan. (2) lagu harus tidak ada keburukan dan doa. (3) tidak ada hal yang diharamkan, seperti minuman keran dan memabukkan (4) tidak membangkitkan syahwat nafsu (5) makna yang terdapat dalam lagu harus terjaga dari maksiat dan mulia” (Fatawa Mu’ashirah 1/119)

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Rabu, 02 Agustus 2017

Legenda Watu Payung Wonogiri

PUNDEN Watu Payung berwujud bebatuan alami bersusun layaknya songsong agung (payung) milik Pangeran Joko Lelono ini di sekelilingnya dibentengi bebatuan sebesar gajah. Bila disimak teliti bentuknya tak ubah pemujaan kuno. Kerindangan pohon di sekitarnya membuat kawasan itu bernuansa mistis.

Letaknya di desa Watu Payung, Wonogiri, tak jauh dari Umbul Nogo. Biasa dipakai mencari berkah pangkat, derajat dan kewibawaan. Tak urung kebanyakan peziarah di Watu Payung adalah golongan pegawai. Tak hanya untuk mencari kedudukan, tapi juga untuk mempertahankan jabatan.

Di awal reformasi banyak pejabat bermasalah takut kehilangan jabatan lalu berduyun-duyun nenepi di punden Watu Payung. Banyak peziarah dari luar kota.

Dipercaya penghuni gaib punden Watu Payung tak suka kebisingan. Pernah seorang pemburu burung dibuat lari terbirit-birit karena ngomel-ngomel di lokasi peziarahan. Pada senja hari itu, si pemburu merasa dikejar-kejar harimau loreng. Menurut warga setempat harimau itu adalah siluman Watu Payung, biasa disebut Mbah Loreng. Si pemburu lalu dianjurkan untuk pulang. Tak baik untuk melanjutkan berburu.

Menurut legenda, Watu Payung dulu adalah songsong Pangeran Joko Lelono yang tertinggal sewaktu singgah. Ki Jebres dan Ki Merkah yang membawa payung, kelupaan dan tertinggal di tempat itu. Tentu saja membuat Pangeran Joko Lelono marah, kemudian kedua abdi itu disuruh mengambilnya.

Di atas punggung gajah Pangeran Joko Lelono mengawasi kepergian kedua abdinya. Bukan main terkejutnya mendapati payung itu telah membatu. Tergopoh-gopoh mereka melapor dan putra Begawan Sidik Wacana itu menamai daerah tersebut dengan desa Watu Payung.

Sedang di mana binatang tunggangannya yang mungkur menanti kedatangan Ki Jebres dan Ki Merkah diberikan nama Gunung Gajah Mungkur. Sebuah pegunungan yang syarat mistis, diduga menjadi hunian para gaib yang berkuasa di perbatasan antara wilayah Sukoharjo dengan wilayah Wonogiri. Sedang yang bertahta di singgasana kajiman menyandang sesebutan Kyai Glinggangjati dan pasangannya yaitu Nyai Glugurjati. Kedua makhluk dari bangsa jin itu menjaga pegunungan Gajah Mungkur atas perintah pangeran Joko Lelono.

Di zaman dulu, orang-orang yang bermukim di dataran tinggi Gajah Mungkur dikenal memiliki ilmu kanuragan tingkat tinggi, sehingga untuk berhadapan dengan mereka perlu memperhitungkan diri.

Selasa, 01 Agustus 2017

Mitos Gunung Lanang Kulon Progo

Selama ini, Gunung Lanang populer sebagai tempat berburu wahyu. Setiap bulan Suro ritual berskala besar digelar disertai pagelaran wayang. Tetapi, ada misteri lain terkait asal mula gunung ini, yang nyaris tertutup oleh berbagai mitos lain.

Gunung Lanang terletak di kawasan Pantai Congot, Kulonprogo. Gunung ini terkenal sebagai tempatnya para pelaku tirakat yang memburu pangkat dan derajat. Bahkan, wahyu keprabon. Tetapi, realitas Gunung Lanang ini membuat orang bertanda tanya. Pasalnya, berbagai bangunan yang ada di komplek petilasan Gunung Lanang ini diberi nama-nama berbau Hindu. Misalnya, Astana Jingga, Badraloka Mandira, Candi Wisuda Panitisan dan Tirta Kencana. Kecuali itu, di komplek Tirta Kencana juga didapati sebuah prasasti Ajisaka, terbuat dari semen berbentuk mirip sebuah pohon dengan dahan dan batangnya penuh aksara Jawa.

Nama-nama berbau Hindu yang disematkan pada sejumlah bagian komplek Gunung Lanang, memiliki arti yang sungguh menggugah daya tarik mistis seseorang. Astana Jingga artinya sebuah tempat yang memancarkan sinar kuning kemerahan. Badraloka Mandira berarti sebuah bangunan dari batu bata yang memancarkan sinar keagungan. Sedangkan kata ‘Lanang’ diartikan sebagai lelaki, yang merujuk pada keyakinan bahwa Gunung Lanang tersebut merupakan petilasan seorang bangsawan dari Mataram Kuno.

Melihat nama-nama bercirikan Hindu dan maknanya, serta keyakinan sejumlah orang yang mengatakan Gunung Lanang sebagai petilasan bangsawan Mataram Kuno, tentu akan terhenyak jika kemudian melihat langsung petilasan ini. Sebab, segala nama dan ciri-ciri Mataram Kuno sebagaimana diyakini itu sungguh terasa bagai mitos yang dipaksakan. Sebab, tak ada satu pun ciri peninggalan zaman Mataram Kuno yang bisa didapatkan di tempat ini. Mengapa nama-nama itu disematkan, dikenal luas dan bagaimana sesungguhnya riwayat Gunung Lanang?

Gunung lanang terletak diantara pantai Glagah dan Pantai Conggot, tepatnya 4 km dari pos retribusi tempat wisata Pantai Glagah yakni dusun Bayeman, Kelurahan Sindutan, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jalan yang dapat diakses sama dengan jalan menuju wisata Pantai Glagah dan Pantai Congot melewati jalan yang menyusuri Pantai.

Gunung lanang bukan sebuah Gunung yang menjulang tinggi namun hanya sebuah bukit yang dikelilingi oleh pepohonan khas pingir laut yang tinggi menjulang, seluas kurang lebih 500 m2. Tempat ini dulu merupakan tempat bertapa seorang laki-laki (dalam bahasa jawa disebut lanang ) bangsawan dari kerajaan Mataram kuno, sehingga tempat ini di namakan Gunung Lanang . Dipuncaknya terdapat pelataran yang dinamakan Astana Jingga atau Badraloka Mandira. Astana Jingga berarti Memancarkan Sinar warna kuning kemerahan, sedangkan Badraloka Mandira berarti sebuah bangunan terbuat dari bata yang memancarkan keagungan. Nama ini diberikan karena jika seseorang yang tirakat atau melakukan ritual ditempat ini berharap akan mendapatkan berkah.Dan apabila menghadap ke selatan maka akan tampak lautan dengan riak-riak gelombang yang semakin menambah mistis tempat ini. Tempat inilah yang sering digunakan untuk melakukan ritual-ritual tertentu.

Gunung Lanang sebenarnya hanya sebuah bukit kecil di kawasan dusun Bayeman, Sindutan, Temon Kulonprogo, Jogjakarta. Pada puncaknya, didapati sebuah bangunan mirip monumen yang diberi nama Sasana Sukma. Puncak ini merupakan tempat dilakukannya berbagai ritual. Sebelum masuk ke puncak itu, di bawahnya terdapat bangunan terbuka yang terdiri dari empat trap. Tempat ini disebut Candi Wisuda Panitisan.

Di sebelah barat Gunung Lanang, terdapat komplek bangunan Purna Graha atau Graha Kencana dan Tirta Kencana. Purna Graha merupakan tempat ritual khusus yang keberadaannya selalu terkunci untuk melindungi benda-benda yang dianggap berharga seperti pusaka. Tirta Kencana merupakan tempat air suci yang terbagi dalam dua bilik. Kedua bilik diberi genthong besar sebagai tempat menampung air suci. Dua bilik itu diberi nama Nawangwulan dan Nawangsih. Dua nama bidadari zaman Joko Tarub ini semakin membuyarkan kesan mistis zaman Mataram Kuno. Misteri apa yang sebenarnya tersembunyi di balik semua ciri fisik Gunung Lanang ini?

Prawiro Suwito  juru kunci Gunung Lanang yang masih sangat bugar kesehatannya, mengatakan kepada posmo, Gunung Lanang ini sudah dikenal sejak zaman Jepang. Di kala itu, Gunung Lanang adalah sebuah pasar yang ramai pada malam Selasa dan Jumat Kliwon. Bersamaan dengan itu, Gunung Lanang juga sudah dikenal keramat. Prawiro tak bisa menjelaskan bagaimana kemudian nama-nama Hindu itu disematkan di berbagai bagian komplek Gunung Lanang. Prawiro hanya menerima saja setiap bentuk sumbangan dari pelaku tirakat, yang hendak membangun kawasan Gunung Lanang berdasarkan wangsit.

Juru kunci Gunung Lanang, menurut Prawiro, sudah berganti selama empat generasi. Prawiro sendiri sudah 15 tahun menjadi juru kunci di gunung itu. Menurutnya, juru kunci diwariskan secara turun-temurun. Tak seorang pun kuat menjadi juru kunci jika bukan dari garis keturunan juru kunci. Masyarakat setempat meyakini, Gunung Lanang adalah pengayomnya. Apa yang terungkap dari penuturan jujur Prawiro Suwito tentang riwayat Gunung Lanang ini, ternyata semakin membuat ciri-ciri Hindu sebagaimana tampak pada nama-nama bagian komplek gunung tersebut menjadi samar. Pasalnya, Prawiro justru mengemukakan fakta tutur yang sungguh lain dari mitos Gunung Lanang yang selama ini dikenal sebagai petilasan bertapa bangsawan Mataram Kuno.

Tempat ini sudah banyak dikunjungi dan rata rata mereka bermaksud untuk mendapatkan berkah kelancaran karir atau usaha kebanyakan mereka dari kota kota besar di Indonesia, ada yang dari Jakarta, Bandung, Semarang dan lain sebagainya.  Dan setiap tahun setiap tanggal 1 suro pada penanggalan jawa ditempat ini pasti diadakan ritual yang dinamakan Ruwatan Agung Tumapaking Laku Suci oleh penganut Kejawen yang diikuti tidak hanya warga sekitar namun dari luar kota juga turut ambil bagian.

Prosesi Ruwatan ini dimulai dengan laku sesuci yakni membasuh muka dengan air sumur Tirto kencono yang terdapat di sekitar petilasan ini, kemudian dengan melantunkan Kidung Pambuko atau doa di Sasono Jiwo untuk melakukan persiapan batin agar selama prosesi mendapatkan perlindungan-Nya. Setalah lelaku sesuci selesai dilakukan maka para peserta menuju sasana Sukma dan Sasana Indra yang ada di puncak Gunung Lanang atau pelataran Astana Jingga. Disini para peserta melakukan semedi dalam keheningan dan menyerahkan kepada Yang Maha Kuasa. Setelah itu cukup dalam bersemedi para peserta kembali ke sasono jiwo untuk berdoa kembali dengan kidung Penutup sebagai ungkapan rasa syukur telah menyelesaikan ritual tersebut, dan biasanya pada pagi harinya akan dilaksanakan labuhan atau melarung hasil ruwatan berupa potongan kuku dan rambut para peserta ke Laut.

Bukan berarti yang berkunjung ke tempat ini untuk melakukan ritual tersebut namun ada juga yang sekedar melihat petilasan tersebut sebagai bagian budaya yang perlu dimengerti dan dipahami sebagai kearifan local dan kekayaan budaya bangsa kita. Dan ini bisa menjadi alternatif setelah mengunjungi pantai Glagah ataupun Pantai Congot, karena untuk menikmati petilasan tersebut sudah tidak dipungut biaya lagi karena sudah termasuk dalam retribusi Pantai Glagah.